XII

5.4K 444 23
                                    

"Park Chanyeol, mengakulah!" bentak Jihyun membuat Chanyeol semakin gugup.

Mata Jihyun menyala berapi-api seolah dapat menembus kedua biji mata milik pemuda di hadapannya. Rahangnya mengeras. Chanyeol bergidik pelan.

"Mengaku!" jerit Jihyun.

"Bukan aku!" balas Chanyeol ikut menjerit tanpa sadar.

Setelah menjerit seperti itu, ia sadar tak seharusnya ia berteriak pada wanita, terlebih wanita di hadapannya lebih tua darinya. Ia langsung menyesalinya dan hendak meminta maaf saat Jihyun memaksanya untuk menjelaskan. Jihyun juga mengancamnya atas nama Kim Jaehwan. Maka, dengan secuil keberanian yang tertinggal di dalam dirinya, ia mengajak Jihyun untuk menemui seseorang yang dapat menjelaskan kejadian ini lebih rinci.

Setelah beberapa menit perjalanan, Jihyun menarik rem tangan mobilnya. Ia melirik pemuda di sampingnya. "Benar disini, kan?"

"I-iya, Kak," jawab Chanyeol gugup.

"Ayo." Jihyun turun dari mobil diikuti oleh Chanyeol. Mereka berdua berjalan memasuki sebuah gang dan berhenti di depan sebuah rumah. Rumah kecil itu hanya disinari cahaya remang-remang. Chanyeol menuntunnya kemari setelah Jihyun memaksanya untuk memberitahu padanya tentang pelaku penyekapan itu.

Chanyeol mengetuk gembok pagar itu ke besi pagar agar menghasilkan suara dentingan dengan harapan pemilik rumah akan segera membukakan pintu. Namun, setelah hampir satu jam mereka menunggu, tanda-tanda kemunculan pemilik rumah tak kunjung tampak.

"Kau tidak sedang membohongiku, kan?" tanya Jihyun mulai curiga.

"Tidak, kok," jawab Chanyeol pasti. Ia yakin sekali ini adalah rumah Nayoung. "Sepertinya ia sedang tidak di rumah."

Karena sudah larut malam, Jihyun memutuskan untuk mencari tahu sendiri dengan sedikit bantuan Chanyeol. Ia mengantar Chanyeol ke rumahnya karena tidak mau dituduh menculik anak di bawah umur di malam hari seperti ini, tentunya setelah memberi ancaman padanya. Ia berniat untuk melanjutkan pencariannya esok hari karena badannya juga sudah lelah.

*

Jongin duduk di bangkunya dengan cemas. Ia sengaja bangun pagi dan datang lebih awal agar cepat melihat Hara. Ia ingin mengecek kondisi gadis itu langsung. Tadi malam ia sudah mengetik pesan untuknya, tapi tak jadi dikirimkannya karena takut mengganggu waktu istirahatnya. Ia sudah menahan diri untuk tidak khawatir dan ternyata ia gagal.

Jongin menidurkan kepalanya di atas meja sambil melihat ke arah jendela yang berlawanan dengan pintu. Untungnya udara pagi ini tidak terlalu dingin, jadi Hara tak akan kedinginan seperti semalam, batinnya. Ia mendesah. Ia sudah berkorban datang lebih awal, tapi kenapa Hara datang lama sekali?

"Hei." Jongin merasakan sentuhan lembut di cuping telinganya. Ia mengangkat kepalanya dan melihat siapa itu. Didapatinya teman sebangkunya sedang mendudukkan diri di sebelahnya dengan wajah ceria.

"Kau sudah sehat?" tanya Jongin langsung sambil membenarkan posisi duduknya.

"Memangnya kapan aku sakit?" tanya Hara balik dengan kepercayan diri penuh.

Jongin mendengus. "Semalam kau hampir mati membeku, kau ingat?"

"Oh, benarkah?" Hara pura-pura lupa. Sebenarnya ia ingat semua detail terkecil kejadian semalam. Seberapa dingin udara malam itu, seberapa banyak hormon endorphin dilepas dari dalam dirinya, seberapa besar ia berharap Jongin memberi sedikit kehangatan baginya yang sedang kedinginan, seberapa khawatir nada bicara Jongin, dan seberapa hangat rasanya berada dalam pelukan pemuda itu. Semua terekam jelas dalam memori Hara.

"Kakakku khawatir sekali padamu," ucap Jongin.

Hara meringis. "Aku merepotkannya, ya? Minta nomor ponsel Kak Jihyun, dong, aku mau meminta maaf."

MoonlightTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang