Matahari berada tepat di atas kepala. Terik, namun sejuk karena terpaan angin. Cuaca yang sangat disukai Jongin. Ia menikmati cuaca siang itu di loteng sekolah. Menatap kosong ke arah langit biru sambil duduk di bangku kayu tua.
Ia disini bukan karena ingin menghindari Hara, tetapi ia ingin menenangkan dirinya. Sejak kemarin dirinya tidak pernah tenang. Bagaimana dia bisa tenang ketika ia tahu bahwa ia punya saudara lain selain Jihyun dan Jieun? Otaknya sudah cukup terkuras dengan berbagai kemungkinan yang dipikirkannya. Ia ingin berpikir positif, namun nyatanya semua hal yang terjadi dalam hidupnya adalah hal negatif.
Terlahir dari keluarga kaya raya tidak membuat Jongin senang ataupun bangga. Ia justru tertekan dengan segala masalah dalam keluarganya. Dimana ibunya bunuh diri, ayahnya memaksanya untuk mengikuti jejaknya, dan sekarang ia harus menerima kenyataan pahit bahwa ayahnya berselingkuh dan memiliki seorang anak perempuan yang seumuran dengannya. Saat itu Jongin masih terlalu kecil untuk mengerti alasan ibunya memutuskan bunuh diri. Tapi sekarang ia sudah cukup dewasa untuk merangkai kronologi itu.
Jongin menghela napas berat. Hidup terlalu kejam padanya. Ia dulu sangat menghormati ayahnya sebelum kecelakaan Yeonji. Sejak itu, Jaehwan mendidiknya begitu keras. Jongin mungkin terlihat tegar, tapi sesungguhnya ia sangat merindukan kasih sayang orangtua yang seutuhnya.
Jongin bangkit dari bangku itu untuk kembali ke kelas. Ia membalikkan badannya. Betapa terkejutnya ia melihat Hara berdiri di depan pintu loteng sambil menatapnya dari kejauhan. Ia dapat merasakan jantungnya berdegup lebih cepat. Ia berusaha menetralisir jantungnya karena ia benar-benar tidak ingin merasakannya sekarang. Ia lelah.
Karena Jongin tak bergerak sedikitpun, Hara melangkah mendekatinya. Langkahnya pelan seolah sudah letih mencari Jongin kemana-mana. Ketika Hara sudah berada tepat di hadapannya, ia membuang muka. Ia tidak sanggup melihat gadis itu. Rasanya ingin meledak.
"Jongin-ah," panggil Hara lirih. Rambutnya beterbangan ditiup angin. Jongin masih membuang pandangannya kemanapun selain ke mata Hara. Itu membuat dada Hara nyeri.
"Kau tak mau menatapku?" tanya Hara.
Jongin tidak menjawab. Ia sungguh mau menatap gadis yang dirindukannya itu, tapi ia tahu saat ia menatap kedua manik matanya, segala pertahanannya runtuh. Ia tidak mau membuat Hara berada di posisi yang membingungkan.
"Kau ini kenapa, sih? Kau punya masalah? Kau bisa cerita padaku," ucap Hara menahan kekesalannya. "Beberapa hari ini kau seperti zombie. Kau tak mati, tapi kau juga tak hidup. Aku benci melihatmu seperti ini!"
"Jangan berpura-pura peduli padaku saat kau bilang kau akan meninggalkanku dan pergi," gumam Jongin pelan.
"Aku peduli padamu. Itulah kenapa aku berada disini sekarang."
"Kau peduli padaku karena kau takut melihat banyak arwah, kan?"
"Aku peduli padamu karena kau temanku," ucap Hara.
Jongin menyunggingkan senyum asimetris. "Begitu justru lebih buruk."
Gumaman Jongin begitu pelan sampai Hara tak bisa mendengarnya. "Ceritakan masalahmu padaku. Kita, kan, teman."
"Kau adalah bagian dari masalahku!" sahut Jongin kesal. Akhirnya matanya bertemu dengan milik Hara. Matanya berapi-api dan napasnya memburu seolah sudah menahan kekesalan ini sejak lama.
Hati Hara tertohok, serasa ditusuk-tusuk oleh besi panas mendengar ucapan Jongin. Ia tidak mengerti kenapa Jongin bisa berkata seperti itu. Selama ini, Jongin tidak pernah mengeluh. "Apa aku menjadi beban untukmu?" tanyanya pelan.
Mendengar perubahan nada bicara Hara membuat Jongin tersadar. Tidak seharusnya ia berkata seperti itu pada Hara. Tapi, mau bagaimana lagi? Sudah terlanjur diucapkan.

KAMU SEDANG MEMBACA
Moonlight
Fiksi PenggemarJung Hara, seorang remaja berusia 15 tahun yang baru saja menduduki bangku SMA di Felicity High School. Ia cantik, pintar, dan populer. Itu sebabnya ia terpilih menjadi penyiar di radio sekolah. Tanpa disadarinya, ia bisa melihat apa yang tidak oran...