25. Vijfentwintig (Einde)

7.7K 373 58
                                    

Embusan angin menerpa lemput wajah tampannya. Setetes darah yang kini kembali keluar dari lubang hidungnya itu membuat senyuman manisnya perlahan sirnah.

Sorot mata teduh yang tadinya terpaku melihat beberapa anak kecil yang bermain ditaman rumah sakit, kini ia alihkan kearah bawah, darah itu kini mulai menodai piyama rumah sakit yang ia kenakan.

Lagi?

Alen menghembuskan nafas gusar, mengelap kasar cairan amis yang belum berhenti keluar. Sebelum tiba-tiba kursi roda yang menjadi tempatnya duduk, kini didorong oleh seseorang ke tempat yang lumayan teduh di taman rumah sakit.

"Pa..." Alen tersenyum melihat sang pelaku.

Kini Abi berlutut didepan putranya, mengelap darah yang keluar dihidung Alen menggunakan sapu tangan. Lalu memperlihatkan dua susu kotak varian stroberi yang ia bawa, satu Abi sodorkan kearah Alen dan satu lagi untuknya.

"Ale suka kan?" tanya Abi.

Alen mengangguk antusias, diiringi dengan senyuman sumringahnya yang kembali terbit.

Membuat Alen bahagia memang mudah, hanya berawal dari hal hal kecil yang pasti selalu ia anggap istimewa. Begitu juga denga Abi, semua hal sekarang terasa istimewa jika ia lalui bersama kebahagiannya, Alen.

"Gimana kemotrapi tadi, lancar kan? Maaf karena kali ini Papa gak bisa temenanin Ale, Papa ada urusan mendesak tadi." Terdengar sedikit nada bersalah dari ucapan yang barusan Abi lontarkan.

Abi tak ingin Alen tahu, jika sebenarnya ia harus kembali memenuhi surat panggilan dari pihak kepolisian.

"Baik kok, lagian kan ada Om Gala. Jadi, Papa ga usah khawatir," balas Alen dengan senyuman meyakinkannya membuat Abi spontan mengusap lembut kepalanya yang terpasang kupluk.

"Pa..." Panggil Alen kemudian.

"Iya, sayang?"

"Bagi Papa, Ale itu apa?" tanya Alen tanpa diduga.

Abi terdiam mendengar pertanyaan yang Alen layangkan. Namun, sedetik kemudian lelaki berumur tiga puluhan itu kembali mengukir sebuah senyuman.

"Eummm..." Abi terlihat berpikir sejenak, sebelum kembali berucap. "Segala-galanya. Ale itu harta paling teristimewa, hadiah dan titipan terindah dari Allah yang baru saja Papa sadari, karena dulu hanya Papa sia-siakan. Ale itu bintangnya Papa, tanpa Ale, antariksa Papa gak akan ada cahaya. Permata Papa yang begitu bernilai harganya."

Abi menggengam erat jemari kurus milik sang putra, sebelum melanjutkan kata-katanya. "Kamu sekarang adalah kebahagian yang begitu Papa takutkan kehilangannya, sayang. Papa takut jika sewaktu-waktu bintangnya Papa redup. Papah takut jika sudah tiba saatnya, Allah kembali mengambil titipan terindahnya Papa. Bahkan disaat Papa sendiri belum bersedia, hingga harus mengatakan kata 'selamat tinggal' secara paksa." Air mata Abi keluar mulus dari pelupuk matanya.

"Jangan nangis, Ale ga suka lihat Papa nangis." Alen menghapus pelan air matanya yang jatuh, membuat Abi terkekeh miris, mengelap kasar ekor matanya.

Sebelum kembali menatap lembut wajah pucat Alen yang kembali berujar. "Ale bisa minta satu permintaan lagi ga?"

"Katakan, apapun itu akan Papa penuhi jika Papa mampu. Insya Allah."

Alleen ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang