Ch. 02. Harga Diri Malaikat Pencabut Nyawa

45 29 7
                                    

Clay, malaikat pencabut nyawa yang baru saja menyelesaikan tugasnya, mengembuskan napas panjang sambil duduk di atas dahan pohon yang menjulang tinggi. Senyumnya tipis, nyaris tak terlihat, saat ia memandang ke langit yang mulai diliputi awan gelap.

Menunggu hujan turun menjadi kebiasaannya setelah menyelesaikan tugasnya. Bagi Clay, hujan seolah menjadi tanda alam ikut menyambut setiap akhir kehidupan yang ia antarkan.

Begitu titik-titik air hujan mulai turun, Clay mengangkat sabitnya, sabit besar yang sudah menjadi teman setianya dalam tugas mulianya. Air hujan perlahan membersihkan bilah sabitnya, dan ia merasakan ketenangan dalam pemandangan itu.

"Setidaknya, pria tua itu pergi diiringi oleh hujan." Gumamnya pada dirinya sendiri.

Kebahagiaan Clay begitu sederhana. Ia hanya perlu melakukan tugasnya dan menjaga sabitnya tetap bersih. Sabit itu, besar dan berkilau, selalu berada di sisinya, mendampingi setiap langkah dan tarikan nyawa yang ia ambil.

Setelah beberapa saat menikmati hujan, telinga kanannya berdengung, dan ia tersenyum lebar, hampir menyeringai.

"Nah, saatnya kita bersenang-senang!"

Ia memegang sabitnya dan dengan telaten membersihkan setiap sudutnya hingga kembali mengkilat sempurna, lalu bangkit berdiri. Pandangannya terarah ke sebuah rumah di atas pegunungan.

Dengan gerakan tenang, ia mengenakan jubah hitam panjangnya, kemudian mengembangkan sayapnya, terbang menuju rumah calon korban selanjutnya.

Ketika sampai di depan rumah, Clay memastikan kembali bahwa sabitnya benar-benar bersih. Ia bisa saja menembus tembok dan pintu dengan mudah, namun ia memilih untuk mengikuti kebiasaan manusia yang mengetuk pintu sebelum memasuki rumah orang lain.

Ttok.. Ttok.. Ttok..

"Aku adalah Malaikat pencabut nyawa dengan tata krama yang sempurna!" Gumamnya dengan bangga.

Namun, meski sudah mengetuk, ia tetap memilih untuk berjalan menembus pintu yang tertutup rapat. Tanpa alas kaki, ia segera mencari keset di rumah itu dan membersihkan telapak kakinya dari sisa-sisa debu perjalanan.

Hidungnya menangkap aroma manusia yang samar di lantai atas. Dengan gerakan halus, ia mulai menaiki tangga, dan jari-jarinya menyentuh anak tangga satu per satu, mengagumi kebersihan di sana.

Clay tersenyum puas. Rumah ini begitu bersih, dan itu memberinya kesenangan tersendiri. "Aku suka pasien yang menjaga kebersihan.." Bisiknya lembut. Setiap nyawa yang akan ia ambil ia sebut sebagai 'Pasien'.

Di atas, aroma manusia semakin dekat, dan Clay tahu, tak lama lagi, tugasnya akan kembali tuntas dengan sempurna.

※※※※※

Saat mencapai lantai atas, Clay mendapati seorang gadis berambut pirang sedang duduk menghadap jendela, memandangi hamparan kota di kejauhan. Ia mengerutkan alis, merasa wajah gadis itu tampak tidak asing baginya, meskipun ia tidak bisa mengingat sepenuhnya dari mana ia mengenalnya.

Ia berjalan perlahan dan duduk di depan gadis itu. Tentu saja, gadis itu tidak bisa melihatnya, sudah menjadi bagian dari tugasnya untuk tetap tersembunyi dari mata manusia.

"Hoaaam..." Clay menguap, merasa bosan. Ia menopang dagunya dengan kedua tangan dan mulai mendengarkan gadis itu yang terus berbicara seorang diri.

Sebagai malaikat pencabut nyawa, Clay sudah terbiasa menyaksikan manusia dalam segala kondisi. Mereka menertawakan hal-hal kecil, menangis tanpa alasan, berpesta, atau justru meratapi hidupnya. Ia merasa seolah-olah sudah melihat seluruh perilaku manusia, dari yang mengharukan hingga yang benar-benar bodoh.

LOST IN THE WORLD OF THE DEATHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang