"GUYS, gue duluan ya,” pamit Ibel melihat ibunya sudah datang menjemput. Melambaikan tangannya pada ketiga temannya.
“Ra, kita juga duluan ya,” pamit Vina ikut-ikutan.
“Yah, masa gue sendiri.” Bahu Ara merosot lesu.
Bel tanda usai pelajaran telah berbunyi sejak beberapa menit yang lalu. Ara, Ibel, Tami, dan Vina memutuskan untuk segera keluar menunggu di depan gerbang. Ibel langsung dijemput, sementara Vina dan Tami akan mengikuti les matematika ditempat yang sama. Tinggallah Ara yang masih menunggu, tidak tahu pasti apa yang ia tunggu disaat orang rumah tidak ada yang bisa menjemput.
“Kita tunggu Ara dijemput dulu gimana, Vin?” tanya Tami iba.
Padahal Ara tidak dijemput. Ia bisa saja langsung memesan ojek online, tapi entahlah. Ara merasa malas pulang, jika yang ditemukan di dalam bangunan sederhana itu hanya kesunyian lagi dan lagi.
“Tapi lesnya bentar lagi mulai. Nanti kita gak keburu,” balas Vina tanpa mengalihkan fokusnya dari layar ponsel.
“Gimana ya, Ra?” Tami berpikir.
Ara menghembuskan nafas pelan. “Ya udah deh. Kalian duluan aja.”
Vina tersenyum, mengusap pundak Ara. “Sori ya, cantik. Besok kita pulang bareng deh,” janjinya.
Masih cemberut Ara mengiyakan. “Hati-hati,” pesannya meratapi kepergian Tami dan Vina. Keduanya menyebrang jalan menghampiri taksi pesanan mereka.
Tiba-tiba Ara merasakan sebuah benda tumpul mendarat di kepalanya. Rasa nyeri langsung terasa tepat di ubun-ubun. Perlahan Ara berbalik sambil melotot marah, mengambil penggaris plastik yang terjatuh di ujung sepatunya.
“Eh, sori!” kata seseorang berlari kecil dari arah samping kanan Ara. “sengaja,” lanjutnya seraya mengambil penggaris itu dari tangan Ara.
Ara mendesis tak terdengar. Melirik laki-laki berjambul acak yang kini tersenyum tengil tanpa rasa bersalah.
“Beneran sakit ya?” tanya Kenzo dengan bodohnya.
“Enggak,” jawab Ara singkat seraya membuang muka.
Ara berharap Kenzo segera pergi dari sana. Namun cowok itu masih berdiri disana sambil memainkan penggarisnya. Memandangi para murid yang mulai keluar dari gerbang bersama kendaraan masing-masing.
“Nunggu jemputan?” tanyanya memecah keheningan. “Atau nunggu pacar?” tebaknya.
Kenzo yang berdiri di sebelah Ara mendadak salah fokus menyadari tinggi Ara yang tak lebih dari bahunya. Ia bisa melihat pucuk kepala cewek itu. Kenzo mendengus geli, ternyata pendek juga.
“Ngejek ya?” balas Ara.
“Hm? Kok ngejek?” Dahi Kenzo berkerut. Mulai was-was apakah ia mengucapkan ejekan barusan hingga Ara mendengarnya?
"Ga punya pacar," cicit Ara menggesek-gesekkan sepatunya ke aspal.
“Oh, jomblo,” balas Kenzo lalu tertawa. Merasa lega karena prasangkanya tidak benar terjadi.
"Bukan jomblo, tapi single."
"Beda sebutan, sama arti."
Ara mendadak kesal. “Emang lo enggak?” sewotnya kenaikkan dagu.
Eh, kenapa dia jadi nyolot? Ara berdehem sebentar. Mengubah raut wajahnya menjadi biasa.
Kenzo mengulum bibirnya. “Iya, sama. Jangan-jangan kita-“
“ARA!”
Ucapan Kenzo terputus dan terabaikan begitu saja ketika mendengar seseorang menyerukan nama Ara. Ia ikut berbalik untuk melihat siapa yang datang dan mengganggu obrolannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
The King Demos [ON GOING]
Teen FictionAda banyak hal yang harus Kenzo lindungi dalam hidupnya. Keluarga. Demos. Sahabat. Pacar. Apa yang sudah ia miliki harus dijaga. Karena diluar sana beberapa orang berlomba merebut kebahagiaan. Kenzo Danuarta Alatas. Laki-laki ramah dan baik hati. Ke...