17. | Keluarga

199 13 0
                                    

SEPULANG dari Levino café, Kenzo mengantar Raya pulang ke rumah. Malam itu rumah bergaya vintage di daerah perumahan itu nampak lebih ramai. Sepasang suami istri pemilik rumah sepertinya sedang berkumpul. Dan itu artinya Raya sedang tidak baik-baik saja.

“Langsung pulang aja ya, Ken,” pinta Raya--melepas helmnya lalu mengembalikannya pada Kenzo.

Kenzo melirik ke arah tirai jendela yang memperlihatkan siluet dua orang sedang beradu argumen .“Lo gak papa gue tinggal?”

Raya menghela nafas berat, kemudian menggeleng pelan. “Pasti kenapa-napa. Tapi kan udah biasa, jadi gak papa.”

“Kalau terjadi sesuatu atau lo butuh temen inget Raya, lo selalu punya gue.” Kenzo mengusap pundak Raya menguatkan.

“Pergi gih,” usir Raya menepis tangan Kenzo. Tidak mau semakin terbawa suasana.

“Lo masuk dulu baru gue pergi,” tolak Kenzo.

Raya menurut. Ia berbalik memasuki halaman depan. Jujur, jantungnya semakin berdetak kencang ketika hendak membuka pintu rumah. Raya takut, tapi ia tahu ia harus kuat, setidaknya agar terlihat baik-baik saja di depan teman-temannya. Raya menoleh sebentar pada Kenzo untuk melambaikan tangan, lalu masuk ke dalam rumah.

Memastikan tubuh Raya sudah menghilang masuk ke dalam rumah, Kenzo memakai helmnya dan menghidupkan mesin motornya. Suara deru motornya terdengar jelas menyusuri komplek perumahan yang nampak sepi apalagi setelah hujan mereda.

Baru beberapa meter meninggalkan rumah Raya, pikirannya mendadak cemas. Meski Raya bilang ia bisa menghadapinya sendiri, namun hati Kenzo masih selalu mencemaskan perempuan itu. Maka ia memutar arah motornya, kembali ke rumah Raya dengan perasaan gusar.

Benar saja, Kenzo sampai di depan rumah Raya bertepatan dengan keluarnya mobil hitam milik Ibu Raya yang melaju kencang meninggalkan pekarangan rumah. Disusul teriakan marah seorang laki-laki.

“MAWAR, KEMBALI KAMU!”

Kenzo melihat seorang laki-laki paruh baya dan berkumis itu berdiri diteras rumahnya dengan muka merah padam penuh amarah.

Kenzo masih berdiam diri diatas motornya. Mendengar teriakan selanjutnya yang terlontar untuk orang yang berbeda.

“KENAPA KAMU DISINI? KENAPA TIDAK IKUT PERGI BERSAMA IBU KAMU ITU, HAH? DASAR PEREMPUAN GAK TAHU DIRI. KELUAR KAMU DARI RUMAH SAYA!” usirnya dengan menjambak rambut anaknya tanpa segan.

Sementara perempuan yang berdiri diambang pintu menahan tangisnya. Rambut dan make-upnya sudah acak-acakan. Kentara sekali telah terjadi hal buruk didalam rumah itu.

“Papi tenang. Tolong jangan seperti ini pada Mami,” sesenggukan Raya berusaha menenangkan Papainya yang kalab.

Sebuah tamparan mendarat di pipi kiri Raya. Ia meringis, memegangi pipinya yang terasa kebas dan meninggalkan bekas kemerahan karena Bisma melakukannya sekuat tenaga.

“KAMU SEHARUSNYA BILANG GITU SAMA IBU KAMU. MINGGIR! ANAK SIAPA KAMU INI!” Laki-laki itu menepis kasar tangan anak semata wayangnya.

BUG

“KEN!”

Pukulan kedua yang hendak dilayangkan Bisma pada anaknya meleset, digantikan sebuah bogem mentah menghantam rahangnya. Menciptakan rasa perih dan darah keluar dari sudut bibirnya yang robek.

Bisma melotot, sangat terkejut dengan serangan tiba-tiba itu. Raya pun menatap pelakunya tak percaya.

“Pak, maaf. Bukannya saya tidak sopan. Tapi kelakuan bapak sudah kelewatan. Ini anak bapak sendiri, Pak. Darah daging Bapak yang harusnya bapak jaga, bukan disakiti seperti ini!” tutur Kenzo penuh penekanan. Alisnya menukik tajam dan tangannya terkepal disisi tubuh, menandakan ia sedang tidak main-main. Mungkin jika tidak ingat bapak tua ini adalah orang yang sangat sahabatnya sayangi, mungkin Kenzo sudah menghabisinya sejak tadi.

The King Demos [ON GOING]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang