SMA Pancawala gempar dengan kejadian siang itu. Serangkaian kegiatan MOS baru saja usai, namun para siswa harus menunda kepulangan mereka ketika pintu gerbang tertutup rapat mencegah sekelompok orang mengenakan pakaian hitam-hitam agar tidak masuk ke area sekolah.
Diluar sana berdiri dua kutub yang saling menatap bengis. Aura kebencian dan geram terpancar dari sorot mata kedua pimpinan mereka. Jalan raya terasa lengang dan mencekam. Sebentar lagi tempat itu akan berubah menjadi medan pertempuran.
"Apa kabar Yazdan Sananta?" sapa Ranzi. "Senang akhirnya kita bisa bersilahturahmi lagi." Cowok itu melipat tangannya di depan dada.
"Suatu kehormatan bagi Demos kedatangan rival lama," sahut Yazdan, lelaki berwajah blasteran dan sikapnya yang terkenal kalem tapi mematikan.
"Gimana menurut lo. Setelah sekian lama akhirnya gue bertamu lagi ke sekolah lo. Baik banget kan gue?" kata pria berambut abu-abu dengan tatapan pongahnya.
"Gue manyambut baik kedatangan lo untuk bersilahturahmi. Tapi lo gak perlu membawa bermacam alat dibalik tubuh lo ataupun mereka," ujar Yazdan berterus terang.
Ranzi tertawa lebar. Diikuti pasukannya yang menebar senyum meremehkan. "Selalu tepat sasaran. Gue gak perlu jelasin panjang lebar tujuan gue repot-repot kemari."
Di belakang Yazdan, puluhan anggota Demos berbaris membentuk formasi. Mereka bersiap mengangkat senjata masing-masing. Semakin geram mereka mendengar suara tawa Ranzi. Namun Yazdan mengangkat tangannya, menahan.
"Kita bisa selesaiin masalah ini tanpa tetes darah," tawar Yazdan. Tidak berniat memecah pertempuran diantara keduanya. Mengingat banyaknya pasang mata yang berharap-harap cemas dibalik gerbang SMA Pancawala. Yazdan tidak mungkin membahayakan mereka apalagi di awal tahun ajaran baru ini.
"Lo selalu bilang gitu. Tapi pada akhirnya lo sendiri yang mengkhianati kesepakatan. Gue muak dengan itu," geram Ranzi.
Ranzi mundur dua langkah, mengambil ancang-ancang. "Kali ini lo gak bisa meremehkan Algebra," seru Ranzi seraya memberi perintah pada pasukannya untuk memulai.
"Lo salah pilih lawan, Ranzi," gumam Yazdan menghela nafas. Terpaksa mengangkat tangannya ke udara sebagai perintah agar pasukannya maju menyerang.
Pertempuran brutal antara Demos dan Algebra menggemparkan warga sekolah. Tidak seorang pun yang berani melewati pintu gerbang. Satpam dan guru pun memilih diam menyaksikan kedua kubu itu saling menghabisi satu sama lain. Mereka terlalu pengecut untuk mengusik amarah Demos dan Algebra. Dua komplotan yang sejak dulu tercatat sebagai musuh bebuyutan.
Deru sepeda motor sport berwarna biru terdengar memekakkan telinga menerobos lautan siswa yang berkumpul dibalik jeruji gerbang penuh ketegangan. Diikuti vespa hitam bermodif dan motor matic keluaran terbaru di belakangnya. Suara klakson motor dibunyikan berkali-kali oleh pengendara motor tersebut.
"Pak, tolong bukain gerbangnya. Saya mau lewat," serunya dibalik helm full face.
"Enggak bisa. Kamu gak liat keadaan di luar?" balas Pak Satpam.
Ia menatap ke luar gerbang. "Itu urusan mereka. Saya sama teman-teman saya cuma mau pulang," katanya lagi.
"Ya mana bisa. Nanti kalau kamu kesana terus mereka hajar kamu habis-habisan gimana? Udah tunggu dulu." Salah satu guru angkat bicara.
"Ya elah, Pak." Laki-laki itu membangkang.
"Ken, udahlah." Temannya menengahi. Aaron, si tampan pengendara vespa.
"Mau sampai mulut lo monyong juga, tuh satpam gak bakal mau bukain pintu," imbuh Kaemon di boncengan motor matic yang dikendarai Carlo.
"Lagian, gak mungkin juga kita keluar sekarang," kata Aaron melihat keadaan di luar.
KAMU SEDANG MEMBACA
The King Demos [ON GOING]
Teen FictionAda banyak hal yang harus Kenzo lindungi dalam hidupnya. Keluarga. Demos. Sahabat. Pacar. Apa yang sudah ia miliki harus dijaga. Karena diluar sana beberapa orang berlomba merebut kebahagiaan. Kenzo Danuarta Alatas. Laki-laki ramah dan baik hati. Ke...