~ Chapter 1

2.9K 325 14
                                    

[Dipublikasi: 1 Maret 2021]
Jaehyun-Lisa fan fiksi

[Dipublikasi: 1 Maret 2021]Jaehyun-Lisa fan fiksi

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


[]

"Lagi apa? Sudah makan?"

Tangan kanannya berhenti bergerak ke kanan-kiri. Pandangi diri sejenak dari pantulan cermin. Busa berwarna putih menyelimuti bagian luar mulutnya. Suara dari sebrang sana kembali terdengar dan menggema, efek karena ia ada di toilet sekarang.

"Lagi sikat gigi, Nek," jawab Justin, lalu buru-buru membasuh mulutnya.

"Astaga, HP-mu dibawa ke kamar mandi, Dik?" Nenek terdengar terkejut.

Justin mematikan kran air. Ia terkekeh kecil sebelum menjawab, "Iya, Nek." Pasti sehabis ini ia akan diceramahi habis-habisan.

Seorang wanita lansia yang begitu menyayanginya. Justin tidak menolak untuk diomeli setiap hari. Kata-kata nenek, meski hanya lewat telepon, dapat menghapus rasa sepi.

"Kamu ini! Biasa mandi sambil main gadget, ya?"

Justin yang tengah menuang sabun wajah ke telapak tangan berhenti sejenak, kemudian membalas pertanyaan neneknya dengan jujur. Tentu saja tidak, bagaimana ceritanya mandi sambil memainkan ponsel.

Selesai membilas busa-busa samar pada wajah, Justin mengambil ponsel pintar yang ia letakkan di atas wastafel. Nenek masih bicara panjang-lebar dan Justin hanya dapat mengiyakan.

"Nenek sampai lupa. Kamu sudah sarapan?"

"Belum, Nek. Ini Justin mau mandi dulu."

"Owalah ... Nenek tutup, ya, Dik? Kamu jangan lupa makan."

Justin tersenyum. "Iya, Nek." Dan panggilan telepon diputus oleh Nenek.

Justin melempar tubuh ke atas kasur single. Memandang langit-langit kamar sejenak. Tangannya terangkat mengelus luka pada pipi kanannya. Justin sedikit meringis, kemudian terkekeh konyol. Sakit juga ternyata. Sebelum rasa malas menggerogoti tubuh, cowok itu dengan cepat langsung bangkit dan pergi menuju kamar mandi.

*

Justin Andara, nama lengkap cowok yang tengah makan sarapan-seorang diri-dengan roti lapis buatannya di sebuah rumah kecil milik neneknya. Rumah yang ditinggali benar-benar hanya cukup untuk ditempati oleh satu orang manusia. Rumahnya sunyi, sangat nyaman menurut Justin. Tidak ada yang berkunjung ke rumahnya, kecuali teman sekolah yang mengantar catatan harian ketika Justin absen sakit.

Bosan dengan senyap yang ada, Justin meraih remote televisi dan menekan tombol power berwarna merah. Televisi di hadapannya menyala. Justin lanjut makan sarapan ditemani suara pembawa acara berita pagi. Ia tarik kata-katanya, rumah yang sunyi tidak selalu membuat nyaman.

Sepi dan selalu merasa sendiri. Cicak pun rasanya enggan muncul ke permukaan. Dulu Justin benci sepi. Sekarang dengan alasan melatih kemandirian, ia harus bergelut dengan rasa sunyi dan sepi di dalam rumah ini. Rumah yang sangat tidak buruk. Andai seseorang bisa mengisi kekosongan di sini. Menyelamatkan Justin dari rasa sepi yang sangat amat dibenci.

Sampai sekolah, tidak muluk-muluk, Justin langsung masuk kelas dan duduk di kursinya. Tidak tahu apa yang salah, tapi tidak ada seorang pun yang menyapanya. Semua enggan untuk mendekat. Justin tidak tahu apa salahnya. Tempat di mana ia berpijak, pasti ada sepi di sana.

"Justin!" panggil sebuah suara melengking khas perempuan. Itu Sasha, wakil ketua kelas yang tidak pernah lelah untuk mengajak Justin bicara. "Tadi Bu Cici bilang ke gue, lo belum kumpulin tugas minggu lalu. Besok jangan lupa, ya!"

Palu imajiner mengenai tepat di tengah-tengah dadanya. Justin benar-benar lupa dengan tugas itu. Sekarang ia harus tersenyum dan berterima kasih pada Sasha. Harus.

"Ya." Sayangnya yang keluar malah satu kata dengan nada ketus yang menyebalkan.

Sasha di hadapannya menggaruk tengkuk, merasa canggung. Wakil ketua pamit dari hadapannya. Beberapa orang di sekitar Justin saling berbisik membicarakan.

"Sok banget, anjir!" Itu salah satu contohnya.

Sampai kembali pulang di rumah pun Justin masih menyesali tindakannya. Ia tidak pintar mengekspresikan diri. Dan entah bagaimana, suasana hati serta emosi yang dikeluarkan saat di sekolah semuanya negatif. Justin yang tengah tengkurap semakin menyembunyikan wajahnya pada bantal.

Besok ia harus minta maaf pada Sasha. Baru beberapa menit lewat setelah kepalanya berpikir demikian, Justin menarik kembali idenya. Bisa jadi nanti yang keluar malah ucapan super jahat yang akan membuat cewek baik itu melayangkan tamparan pada pipi Justin. Mungkin bukan Sasha yang akan menamparnya, tapi para penggemar alay cewek hits itu. Seperti beberapa hari lalu.

Cowok itu membalik badan. Telentang dengan mata sibuk memandang langit-langit. Tidak ada yang spesial. Hanya ada warna putih di sana. Sementara cahaya senja mulai masuk melewati kaca transparan. Sedikit memberi warna pada ruangan redup itu. Pendingin ruangan belum dinyalakan, Justin tidak peduli, memilih menikmati suhu panas yang sebenarnya tidak ada enaknya.

Di saat-saat seperti ini, Justin sangat rindu akan kehadiran seseorang. Satu-satunya wanita yang akan menggenggam tangannya ketika Justin gemetar ketakutan. Wanita yang akan memeluknya erat di tengah dinginnya malam. Sosok dengan usia pendek dan tubuh rapuh yang akan selalu kekal hidup di memori dan hati. Justin rindu sang ibu.

Dengan seragam lengkap yang masih melekat indah di tubuh, cowok itu perlahan mulai terlelap. Di mimpinya ia bertemu dengan mendiang sang ibu. Begitu cantik dan terlihat muda dengan senyum menawan berseri di wajah. Suaranya terdengar halus dan menyejukkan, mengajak Justin untuk mendekat dan mendekapnya erat. Justin meletakkan kepala di pangkuan. Sentuhan-sentuhannya begitu nyata terasa. Seperti bertahun-tahun lalu ketika ia masih duduk di kursi taman kanak-kanak. Sentuhan kecil yang seolah mengamankannya dari dunia yang kejam. Semua terasa sungguhan untuk sebuah mimpi. Tanpa sadar pipinya basah oleh air mata.

*

Dah lama bgt ga bikin fanfic baru huhu. Semoga ini dan yang lainnya bisa kelar, amin!

That Woman in My DreamTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang