Empat Puluh Tujuh: Restu

966 167 4
                                    

Sabtu pertama sebagai status seorang kekasih Biru Aarav Owen membuat Geraha terus saja mengembangkan senyumnya. Ini sudah genap 3 hari ia resmi berpacaran dengan cowok itu. Teman-teman nya masih belum ada yang tau, tapi untuk teman-teman Biru? Geraha pun tidak menanyakan nya pada cowok itu.

Geraha turun dari kamarnya setelah melalukan kegiatan bersih-bersih. Jam masih menunjukkan pukul 10 pagi. Sudah dipastikan, Kakaknya masih tertidur. Sementara adiknya sedang berolahraga memutari komplek bersama sang Ayah.

"Pagi ibu," ucap Geraha pada ibunya yang sedang sibuk memasak.

Jika hari libur seperti ini, Ibunya memang sengaja bangun siang dan masak tidak sepagi hari produktif.

"Pagi cantik," balas Ibunya sambil mengecup pipi kiri Geraha. Yang diberi kecupan hanya tersenyum senang.

Geraha lalu berjalan mengambil sebuah gelas dirak atas dan menuangkan sebuah air mineral kemudian meneguknya. Ia benar-benar haus, rasanya tenggorokan miliknya sangat kering.

"Assalamualaikum," ucap seseorang dari arah pintu masuk.

Geraha otomatis melihat ke arah tersebut. Dari dapur ke pintu masuk memang tidak ada skat penutup. Semua hanya dibatasi oleh rak kayu tinggi yang berisi sebuah hiasan. Jadi, Geraha masih bisa melihat keadaan disana melalui celah.

"Waalaikumsalam." Geraha dan sang Ibu membalas salam dengan kompak.

Saat sedang serius meneguk air nya, tiba-tiba gadis itu tersedak tatkala melihat siapa seseorang yang muncul dibelakang adiknya dan ayahnya.

Biru.

Cowok itu datang, bahkan terlihat beberapa kali berbincang bersama ayahnya. Bentar, Geraha bingung sekali. Dari mana keduanya sampai bisa bertemu dan berbincang? Untuk apa Biru masuk rumahnya? Bagaimana ayahnya dengan senang hati memperbolehkan Biru masuk? Adiknya juga tidak terlihat protes?

"Geraha, ini ada temennya." Ayahnya berucap memanggil namanya. Ia sedikit lega, Biru tidak memperkenalkan diri sebagai kekasihnya pada sang Ayah. Bukan, bukan Geraha gak mau. Hanya saja, bukankah ini terlalu cepat?

Geraha lalu mengangguk dan berjalan menghampiri Biru yang sudah duduk diruang tamu.

Cowok itu nampak terlihat tampan dengan pakaian santainya. Sebuah kaos dibalut kemeja dan jeans.

" ngapain kesini?" Tanya Geraha dengan penasaran.

"Gak boleh?" Biru balik bertanya. Gemas sekali melihat wajah Geraha yang kesal mendengar jawabannya alih-alih mendapat penjelasan.

"Bukan gitu, ah serius." Geraha mendesak Biru untuk mengatakan tujuannya ke rumah gadis itu dipagi hari.

"Ya emang gak boleh ketemu lo?" Tanya Biru membuat Geraha tersipu malu. Ia masih belum terbiasa dengan sikap Biru yang sedikit lebih santai namun suka membuat beribu kupu-kupu berterbangan diperut nya. Masih kaget dengan perlakuan manis Biru yang tidak diberi aba-aba.

"Ya boleh, tapi harus banget sepagi ini? Lo pasti gak sarapan." Ucapan Geraha diangguki Biru. Dia memang belum sarapan. Niatnya kerumah Geraha memang ingin mengajak gadis itu sarapan bersama diluar. Itupun kalau Geraha dan orang tuanya mengizinkan.

"Tuh kan belom sarapan, kalau sakit gimana?" Tanya Geraha. Terdengar sirat ke khawatiran gadis itu yang ditunjukkan pada Biru.

Biru hanya tersenyum simpul. Ia senang memiliki seorang kekasih seperti Geraha. Rasanya masih suka terkejut jika Geraha dengan blak-blakan memberikan perhatian padanya. Jantung Biru selalu ber-reaksi dengan tak normal.

"Ini khawatir ceritanya?" Pertanyaan Biru membuat Geraha melemparkan bantal sofa yang berada dekat diantara mereka dan Biru menangkap itu dengan cepat.

"Bukan ceritanya. Emang khawatir Biru," balas Geraha.

Biru hanya tertawa melihat wajah kesal Geraha. Definisi lucu dan menggemaskan dijadikan satu. Apakah Tuhan benar-benar sengaja menguji Biru dengan mengirimkan Geraha pada hidupnya? Ini cobaan terberat.

"Galak banget mukanya begitu. Biru diminum ya, nanti kamu sarapan bareng kita aja. Gak boleh nolak, Gak terima penolakan." Ami datang ditengah-tengah perbincangan asik putri nya dengan yang katanya teman laki-lakinya.

Ami tidak tau apakah benar teman laki-lakinya atau seorang kekasih. Ya, Ami tidak pernah melarang anak-anak nya untuk berpacaran. Alasannya, karena jika dilarang akan membuat sang anak semakin berbuat nekat hal yang tidak-tidak. Jadi, ia dan sang suami ber-prinsip untuk membebaskan asal tau batasan dan bisa menjaga diri.

"Iya tante," balas Biru dengan ramah.

Ami lalu pamit untuk kembali menyiapkan sarapan untuk mereka.

Geraha memperhatikan Biru yang meneguk teh manis hangat buatan Ibunya. Biru nampak benar-benar tampan.

"Ngapain lo disini?" Suara bariton itu tiba-tiba terdengar, bersamaan dengan berhentinya derap langkah kaki dari lantai atas.

Geraha dan Biru serentak menoleh ke arah sumber suara.

"Pagi Bang, main aja." Biru menjawab dengan sopan.

"Lah? Main pagi-pagi buta gini, gak sopan." Itu suara Gahari. Cowok itu memang protektif pada adik-adik nya, terlebih Geraha. Walau ia percaya dengan Biru, tapi tetap ia masih mengawasi keduanya.

"Kakak!" Ujar Geraha dengan geram akibat mendengarkan ucapan sang Kakak.

Biru lalu memberikan isyarat kepads Geraha untuk diam dan tidak melawan Gahari. Ia tidak apa-apa. Baru di ospek Gahari, tidak ada apa-apa nya.

"Maaf Bang," ucap Biru.

Ami yang mendengar putra sulungnya berkata tidak sopan pada Biru yang posisinya tamu pun segera menghampiri dan memberikan tarikan ditelinga cowok berumur 20 tahun itu.

"Kakak! Ngomong apa barusan?" Ucap Ami dengan geram.

"Aduh Bu, iya maaf ampun." Gahari meringis kesakitan lalu berusaha melepaskan tarikan tangan Ibunya ditelinga. Ami lalu melepaskan nya.

"Minta maaf sama Biru. Biru , Geraha ayo duduk duluan. Ibu mau panggil Ayah sama Adek." Ami memberikan arahan.

"Maaf." Gahari berucap maaf, yang diangguki Biru.

Geraha lalu segera membawa Biru menuju meja makan. Keduanya duduk secara berhadapan. Sementara itu, Gahari duduk tepat disebelah Geraha. Tak berapa lama, Ayah mereka beserta Ibu dan sang adik bungsu datang.

Ragenta mengambil tempat diujung. Sementara Ayahnya dikuris ujung yang lain, lalu sang Ibu disebelah Biru.

"Makan yang banyak nak Biru, anggap aja rumah sendiri," ucap Ayah mereka sebagai seorang tuan rumah yang ramah.

Biru mengangguk sopan. Gahari terus menatap Geraha dan Biru secara bergantian selama sarapan itu. Ia merasa ada sesuatu yang terjadi diantara keduanya.

Selepas makan, Biru diajak Gahari untuk menuju kamarnya.

Sesampainya disana, Gahari mengeluarkan sebuah rokok yang diambil dari dalam laci dan menghisapnya.

"Lo boleh ngerokok disini." Gahari berucap.

Biru lalu mengambil rokok disakunya lalu ikut menghisapnya seperti yang dilakukan Gahari.

"Lo jadian sama adik gua?" Tanya Gahari.

"Iya," balas Biru.

"Gua tau lo orang baik. Gua juga tau lo gak main-main soal jagain adek gua. Dan gua juga tau lo suka tawuran dan kelah. Musuh lo dimana-mana. Cuma satu pesan gua, jangan sampai Geraha kenapa-kenapa. Apalagi berurusan sama musuh-musuh lo." Ucapan Gahari diangguki Biru dengan yakin.

Ia akan pastikan Geraha baik-baik saja. Ia akan pastikan membunuh orang-orang yang menyakiti Geraha. Ia akan berjanji. Karena baginya, Geraha adalah segalanya.

"Gua restuin. Tapi, kalo lo aneh-aneh in adek gua, lo habis." Ancaman Gahari tak membuat Biru mundur selangkah pun.

"Gua ngerti," balae Biru.

Gahari menghembuskan asap rokok nya ke udara. Ia akan memberikan kepercayaan pada Biru untuk menjaga adiknya. Semoga saja, Biru dapat menjaga kepercayaan nya.

To be continue...

Pasukan Biru [COMPLETE]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang