Dua Puluh Dua: Yang sebenarnya

992 163 12
                                    

Suasana SMA Abadi 20 terasa tidak baik-baik saja. Dipagi hari yang sangat cerah, sudah terlihat hawa mencengkam merasuki Kepala Sekolah, beberapa guru dan juga jangan lupakan Biru yang digiring masuk menuju ruangan kepala sekolah untuk diberikan beberapa ceramah yang kalau menurut Biru intinya sama saja dari pertama kali ia mendapatkan omelan.

Biru duduk dengan tenangnya. Didepannya sudah ada kepala sekolah. Dibelakangnya berdiri kesiswaan dan guru BK-nya.

"Perbuatan kamu semalam, sudah tidak dapat ditoleransi lagi. Anak yang kamu hajar sekarang masuk ruang ICU dan tidak sadarkan diri hingga saat ini. Kamu tau Biru? Apa yang kamu lakukan dapat membuat nyawa seseorang hilang. Apa kamu gak pernah berfikir dulu sebelum bertindak?" Kepala sekolah membuka suara, menasihati Biru yang saat ini terlihat tenang.

"Oh apa Ibu tidak menanyakan hal itu juga pada anak ibu? Apa dia gak berfikir dulu sebelum bertindak? Menusuk teman saya dengan sangat mudahnya bahkan sampai teman saya masuk rumah sakit. Mateo, anak ibu kan?" Cerca Biru.

Ya, Mateo adalah anak dari kepala sekolahnya. Jika kalian bingung, darimana Biru tau? Hal semacam itu dapat dengan mudah ia ketahui karena ia mempunyai teman-teman yang suka bertukar informasi banyak. Jangan lupakan perkataan teman-temannya 'jika kalian tampan dan banyak uang, banyak sekali orang yang menawarka beberapa informasi dengan perjanjian imbalan.'

"Ibu menasihati saya tentang ketidaksopanan, ke-anarkisan, dan semacamnya. Tapi, anak ibu tidak jauh berbeda dari saya." Biru mengucapkan kalimat tersebut dengan mudah.

"Ibu akan telfon orang tua kamu dan mengatakan bahwa kamu tidak dapat tetap bersekolah disini." Kepala sekolah tersebut berucap final.

Biru? Dia dengan santai berdiri, menatap satu persatu orang yang berada disana.
"Silahkan lakukan apapun yang ingin kalian lakukan. Saya cuma melakukan hal yang menurut saya benar."

Biru melenggang pergi. Membuat semua orang yang ada disana menggelengkan kepalanya.

Didepan ruang kepala sekolah sudah banyak teman-teman nya yang menunggu. Biru menghampiri Zaki, Fikri dan Daffi.

"Gimana?" Tanya Daffi

"Mau panggil orang tua terus gua dikeluarin dari sekolah." Jawaban Biru membuat ketiga temannya terkejut.

"Bangsat?" Ujar Zaki.

"Tapi Mateo juga salah anjing," ucap Fikri tidak terima.

"Tanpa bukti, kita gak bisa ancam balik kepsek." Daffi mengatakan hal yang disetujui ketiganya.

"Brengsek! Apa kita gak ada rekaman CCTV?" Tanya Zaki, masih mencoba untuk dapat mempertahankan Biru.

"Lo lupa? Itu kita berantem ditempat yang agak jauh dari jalan dan pemukiman. CCTV gak ada." Penjelasan Fikri disetujui yang lain.

"Terus? Lo diem aja?" Tanya Daffi pada Biru.

"Ya terus gua harus ngapain? Cium kaki kepsek terus mohon-mohon? Bukan gua banget." Biru lalu memberikan isyarat agar teman-temannya pergi bersamanya.

Ketiganya tau, jika sedang ada masalah seperti ini Biru akan mengajak mereka menuju belakang sekolah walau hanya sekedar merokok dan menyesap minuman sascet yang sudah diseduh dikantin.

Sementara itu dikelas, Geraha yang baru saja sampai sudah ditarik oleh Iva agar segera duduk dibangkunya. Didepannya Bona dan Arun juga sudah membalikkan kursinya agar menghadap mereka.

"Kalian kenapa sih? Serius banget kayak lagi kuis." Ucapan Geraha tidak mendapatkan respon. Ketiganya hanya terdiam dan saling memandang serius.

"Ini soal Biru." Iva akhirnya membuka suara.

"Kenapa lagi cowok itu? Buat kalian kesem-sem? Atau apa kali ini? Hm?" Tanya Geraha.

"Dia mau dikeluarin." Ucapan Iva membuat Geraha seketika menghentikan kegiatannya yang sedang memasang dasi. Ia menatap ketiga temannya secara bergantian.

"Kalian bercanda? Kalo iya, gak lucu." Bona menggeleng mendengar ucapan Geraha.

"Ini serius," ujar Bona.

"Tadi pagi pas Biru baru dateng, cowok itu langsung digiring ke ruang kepsek. Pas keluar dia cerita kalo dikeluarin, ada yang nguping pembicaraan dia sama temen-temennya." Jelas Arun.

Geraha terdiam. Matanya langsung melihat ke arah tempat Biru, ah lebih tepatnya ke arah samping kursi cowok itu. Terlihat Baskara yang sedang menidurkan kepalanya diatas lipatan jaket miliknya.

Dengan cepat gadis itu bangkit. Membuat Arun, Bona dan Iva bingung.

"Lo mau kemana?" Tanya Iva.

Geraha tidak menjawab dan langsung menghampiri Baskara. Menggebrak meja cowok itu. Membuat orang-orang yang berada dikelas menatapnya dengan bingung.

"Ikut gue," ucap Geraha setelah melihat Baskara bangun dan menatapnya.

Geraha pergi keluar kelas diikuti Baskara dibelakang nya. Gadis itu membawa Baskara menuju taman sekolah yang letaknya sedikit agak dibelakang sekolah tapi tidak sampai dibelakang banget letaknya.

"Gua tau, lo kan yang laporin Biru," ucap Geraha sambil bersidekap dada dan menatap tajam Baskara. Baskara yang melihat tingkah Geraha pun hanya bisa menaikan sebelah alisnya.

"Kok sok tau?" Ujarnya.

"Keliatan. Lo kan emang selalu sensi sama Biru."

"Kenapa bisa nuduh gua? Padahal banyak yang sensi sama dia." Baskara berucap.

"Gua tau kok Bas. Lo ada dendam sama dia karena kak Purnama kan?" Baskara seketika tersentak. Sedikit bingung bagaimana gadis dihadapannya ini tau perihal Purnama.

"Dari mana lo tau soal Kak Purnama?" Baskara menajamkan tatapannya pada Geraha, semakin mendekati gadis itu. Meminta penjelasan yang dapat diterimanya.

Geraha melangkahkan kakinya kebelakang. Takut dengan tatapan Baskara.

"G-gue udah tau semuanya Bas. Dari, Biru." Geraha merutuki dirinya yang tiba-tiba gugup.

Baskara semakin mendekat ke arah Geraha.

"Lo itu salah paham selama ini." Geraha berucap. Membuat Baskara berhenti. Lalu menatap Geraha, meminta dijelaskan lebih.

"Gua akan ceritain semuanya ke lo, tapi janji setelah ini bantu Biru supaya gak dikeluarin dari sekolah. Karena hubungan Biru dan kakak lo baik-baik aja Bas, bahkan sangat luar biasa baik. Keduanya saling jaga. Gua harap, lo bisa lakuin itu sama Biru." Geraha memohon.

"Gak janji." Baskara berucap dengan acuh.

Keduanya lalu duduk dibangku taman sekolah, setelah itu Geraha menceritakan semuanya kepada Baskara. Semua yang telah diceritakan Biru padanya.

Geraha dapat melihat ekspresi terkejut Baskara namun cowok itu dengan pandai menetralkan ekpresinya kembali.

15 menit berlalu, Geraha lalu memandang Baskara yang telah usai mendengar cerita darinya.

"Gua mohon Bas, bantu Biru supaya tetep disini." Geraha menggenggam tangan Baskara.

Baskara yang melihat itu pun menatap bingung Geraha. Cowok itu menaikan sebelah alisnya.

"Kenapa lo pengen banget tuh berandal tetep disini?" Pertanyaan Baskara membuat Geraha terdiam. Gadis itu juga bingung kenapa ia sangat kekeuh ingin Biru tetap disini, ah tentu dia tidak ingin kehilangan cowok itu.

"Dia temen gua, temen lo juga." Baskara menatap Geraha tak percaya.

"Kalau ada hati, kenapa harus malu untuk jujur?" Ucapan Baskara mendapat pukulan tepat dibahunya oleh Geraha.

"Sok tau! Pokoknya bantuin." Baskara mengangguk mendengarkan ucapan Geraha.

Baskara pun segera pamit untuk pergi. Ada beberapa hal yang harus ia lakukan untuk membantu Biru agar tetap disekolah dan tidak dikeluarkan.

To be continue...

Pasukan Biru [COMPLETE]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang