Dua Puluh Tiga: Akhirnya

1K 169 25
                                    

Biru sudah kembali dipanggil kedalam ruang kepala sekolah. Disampingnya ada Mamah dan Papahnya yang Biru tebak terpaksa hadir.

Mamahnya sedari tadi menanyakan apa yang sedang terjadi, lalu kepala sekolahnya pun menjelaskan. Sementara Papahnya memilih diam, mungkin lelah atau sudah hafal dengan kelakuan Biru. Jadi ia sedari tadi menyimak saja.

Sedangkan Biru? Ia sedang santai duduk sambil sesekali mendapatkan tatapan tajam dari Mamahnya setiap kalimat penjelasan kepala sekolah mengenai kelakuan dirinya keluar dari bibir wanita yang berusia sudah 40an tahun itu.

"Apa tidak ada keringanan lagi Bu, agar Biru tidak dikeluarkan dari sekolah? Toh juga Papahnya dan Saya Mamahnya donatur terbesar disekolah ini." Bianka bernegosiasi. Ia tidak ingin memindahkan anaknya dari sekolah tersebut. Karena hanya itu satu-satunya sekolah yang menurutnya paling bagus didaerah rumah mereka, bahkan lulusannya diterima dibeberapa perguruan tinggi terbaik didalam ataupun luar negeri.

"Biarin aja mah kalo emang Biru dikeluarin, ngapain sih mohon-mohon?" Biru berucap, yang dibalas tatapan tajam Bianka. Ia terkadang pusing dengan kelakuan anaknya, cuma Bianka pun tak bisa berbuat apa-apa karena semua kelakuan nakal Biru adalah hasil dari perbuatannya dan sang mantan suami yang memang kurang memperhatikan anak itu.

"Mamah tidak pernah mengajarkan kamu untuk bersikap tidak sopan, jadi Mamah Mohon kamu diam dan perhatikan sikap kamu. Terlebih sekarang kamu sedang berhadapan dengan guru kamu." Biankan berucap tegas. Biru selalu tak bisa berkata-kata lagi ketika Mamahnya sudah memerintahkan nya. Ia sayang Mamah nya melebihi apapun.

"Tapi-.." Biru ingin berusaha membela diri namun sang Papah lebih dulu memotongnya.

"Biru, dengarkan Mamah kamu bicara." Papahnya angkat bicara.

Memang, Papah dan Mamahnya selalu menyingkirkan masalah pribadi diantara mereka jika sudah berususan dengan Biru. Mereka memiliki prinsip, apapun yang menyangkut Biru, mereka harus bisa turun tangan langsung. Karena Biru adalah anak mereka.

Perpisahan adalah keputusan mereka, tapi masa depan Biru adalah tanggung jawab mereka. Biru sebenernya bodo amat dengan kata-kata itu, intinya ia juga tak peduli tentang masa depannya. Apapun yang terjadi, hal yang utama bagi Biru adalah ia masih dapat berkumpul dengan teman-temannya.

Maria usai menjelaskan semuanya pada orang tua dari anak muridnya yang bernama Biru itu.

"Saya mohon maaf, tapi keputusan sekolah sudah benar-benar bulat bahwa Biru sudah tidak dapat bersekolah lagi disini. Saya selaku kepala sekolah dari SMA Abadi 20 meminta maaf, karena memang kelakuan Biru kali ini tidak dapat ditoleransi." Usai Maria berucap kalimat tersebut, pintu ruangan nya dibuka. Terlihat seseorang dengan nafas tersenggal.

"Maaf saya lancang, tapi saya perlu bicara." Orang itu berucap.

Biru menatap bingung sosok yang berada diambang pintu. Pertanyaannya hanya satu, untuk apa orang itu kemari?

"Iya silahkan, Baskara," ucap Maria. Ya , orang itu adalah Baskara. Orang yang juga memberitahukan nya soal kelakuan Biru yang sudah berhasil membuat anaknya, Mateo masuk ICU dan koma.

"Saya rasa, ibu gak berhak ngeluarin Biru dari sekolah. Karena, Biru hanya melakukan hal yang menurutnya harus dia lakukan. Bagaimana jika ibu jadi Biru, melihat sahabat yang sudah seperti keluarganya ditusuk oleh orang lain didepan matanya bahkan hampir meninggal? Mateo, anak ibu juga bersalah disini. Saya ada bukti." Baskara mengeluarkan sebuah flashdisk dari saku nya.

"Isinya rekaman dari dashboard mobil salah satu teman Biru, kebetulan mengarah langsung ke tempat kejadian. Divideo itu terlihat jelas wajah Mateo yang menusuk Daffi, sahabat Biru."

Baskara berjalan menghampiri semua orang yang memusatkan semua padangan padanya. Bahkan Maria, kepala sekolah mereka nampak gugup.

"Saran saya, mending ibu berdamai dan batalkan keputusan untuk mengeluarkan Biru. Karena Daffi, bisa juga akan menuntut anak ibu. Apalagi, Daffi sahabat baik Biru. Kalau dia dengar ini, gak akan mungkin kan kalo dia diam aja?" Baskara menatap Maria dengan penuh penekanan.

Ia tidak bisa melihat anaknya masuk kedalam sel penjara. Sementara itu, Biru memandang aneh Baskara. Sikap baik tiba-tiba cowok itu mencurigakan.

"Baik. Saya akan batalkan pengeluaran Biru dari sekolah." Keputusan Maria membuat Biru menaikan sebelah alisnya.

Kemudian Baskara pun keluar, merasa urusannya sudah usai.

Baru beberapa langkah keluar, ada suara yang mengintrupsinya. Itu Biru dengan wajah songongnya.

"Curiga. Mau lo apaan?" Tanya Biru.

"Ini ucapan makasih lo?" Balas Baskara dengan wajah songongnya.

Biru berdecih, jika ia tidak tahu Baskara adik dari Purnama sudah ia hajar lagi pasti seperti waktu itu.

"Gua gak minta lo bela?" Biru membalas.

"Tapi ada seseorang yang minta." Baskara membalas lalu memutuskan untuk pergi. Tapi, Biru tidak membiarkannya.

"Siapa?" Biru mengangkat suara. Penasaran dengan yang di maksud oleh Baskara.

"Geraha. Gua lakuin ini untuk dia, bukan lo. Jadi, simpen terima kasih lo untuk dia." Baskara menjawab tanpa menoleh lalu pergi begitu saja.

Biru masih diam mematung ditempatnya. Bingung dengan apa yang barusan Baskara katakan padanya.

Geraha?

Ia merasa bahwa Tuhan benar-benar membawa Geraha kedalam hidupnya dengan tujuan yang baik. Ini salah satu buktinya. Gadis itu berhasil menolong nya melalui Baskara.

--
Disisi lain, Geraha yang sedang asik mengerjakan tugas karena guru mata pelajaran saat itu tidak masuk pun dikejutkan dengan seseorang yang tiba-tiba saja menaruh jus strawberry di mejanya.

"E-eh?" Ujar Geraha gugup ketika mendapati Biru yang sudha berdiri disebelahnya dengan wajah datar namun baginya sangat tampan.

"Ucapan terima kasih." Cowok itu berucap dengan singkat.

"Terima kasih untuk?" Tanya Geraha karena bingung arah tujuan pembicaraan Biru.

"Soal udah bicara ke Baskara, dan bantu semuanya." Geraha pun mengangguk mendengarnya. Ia sebetulnya hanya melakukan apa yang menurutnya benar. Bersyukur jika memang itu membawa hal baik.

"Jadi gimana?" Tanya Geraha penasaran soal kelanjutan cowok itu apakah jadi dikeluarkan atau tidak.

"Perihal?"

"Dikeluarin atau enggak?" Tanya Geraha.

"Ambigu." Geraha segera memukul bahu Biru, cowok itu benar-benar menyebalkan terkadang.

"Bercanda. Engga kok, aman. Kenapa? Takut ditinggal?" Ucapan Biru yang tiba-tiba dan terdengar santai diucapkan tapi tidak dengan reaksi dari jantung Geraha pun membuat pipi Geraha memanas.

"Lucu," ucap Biru kala melihat pipi Geraha memerah bahkan cowok itu tertawa kecil.

"Ngeselin banget suer," balas Geraha.

"Yaudah dilanjut belajarnya." Geraha mengangguk sebagai jawaban.

"Setelah ini akur ,ya sama Baskara?" Pinta Gedaha dengan senyum manisnya.

"Gak janji." Jawaban Biru membuat Geraha mendengus kesal namun memutuskan untuk menerima saja jawaban Biru.

Cowok itupun lalu pergi ke tempat duduknya kemudian memainkan ponselnya. Ya, kalian jangan berharap Biru akan mengerjakan tugas atau semacamnya, itu agak sedikit tidak mungkin jika dibayangkan.

To be continue...

Pasukan Biru [COMPLETE]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang