Pagi ini kediaman bapak Johan Budi terlihat lebih tenang daripada hari-hari biasanya. Tidak ada teriakan Ganis yang menggema di lantai dua, atau sahutan malas Dewa dari dalam kamarnya. Maklum, ini hari minggu. Jadi kedua bersaudara itu mungkin masih asyik bergelung dengan selimut di kamarnya masing-masing.
"Pagi Mbok..."
"Eh, Mas Adit toh... Oalah Mbok pikir siapa pagi-pagi begini sudah ngetuk pintu. Mari masuk mas." Mbok Jah tersenyum ramah pada Adit. Mempersilahkan lelaki dengan senyum bulan sabit itu masuk. Berteman dengan Dewa sejak SMA membuat Mbok Jah ikut mengenalnya juga.
Adit tersenyum ramah, mengikuti langkah asisten rumah tangga keluarga sahabatnya itu hingga ke ruang keluarga. Dia memang sengaja datang pagi-pagi karena berencana mengajak Ganis jalan-jalan. Tapi dia lupa memberi tau gadis itu kemarin, jadi dia memilih datang lebih awal.
"Kok sepi Mbok?"
"Mas Dewa masih di kamar, kalau Non Ganis tadi pagi-pagi sekali sudah keluar Mas. Mau main basket katanya."
Kedua alis Aditya mengerut, tumben Ganis bangun pagi demi main basket? Seingat Aditya biasanya gadis itu lebih memilih sore hari sebagai jam latihannya.
"Mas Adit mau minum apa? Nanti Mbok buatkan."
"Nggak usah Mbok," tolaknya halus, "nanti kalau haus saya bikin sendiri, tadi kebetulan baru minum di rumah."
"Ya sudah kalau begitu Mbok ke dapur lagi ya Mas."
"Lah, tumben udah disini Dit?"
Bersamaan dengan menghilangnya Mbok Jah dari balik pintu dapur, Dewa tau-tau sudah berada di belakang Adit dengan raut wajah khas bangun tidurnya.
"Ah, gue mau ngajak adek lu jalan-jalan tadinya, tapi dia lagi latihan."
"Ganis? Tumben tu anak latihan pagi-pagi."
Aditya mengangkat kedua bahunya. Dewa yang kakak kandungnya aja nggak tau apa lagi dia.
"Terus lu mau kemana?" Tanya Dewa melihat Aditya yang melangkah pergi meninggalkannya.
"Studio lah, rebahan sambil nunggu yang lain."
"Ya udah gue mandi dulu deh. Nanti lu panggilin aja anak-anak lewat grup. Biar pada dateng." Pesan Dewa yang di balas dengan acungan jempol Aditya.
🍒🍒🍒🍒🍒
Beberapa kilometer dari rumahnya, Ganis sedang mengendap-endap membuka kunci lapangan basketnya. Senyumnya merekah saat berhasil membuka pintu besi yang hampir berkarat itu.
Ah, dia rindu sekali markas rahasianya ini.
"Gue pikir gue salah lihat tadi, gak taunya emang elo."
Deg.
'Aduh, gawat... Segala dateng lagi orangnya'
"L—lo kok ada di sini?"
"Bukannya gue yang harusnya nanya gitu ya ke elo?"
Ganis menelan ludahnya, gugup.
"G—gue kan udah lama main disini, lo nggak berhak dong ngelarang gue main lagi cuma karena kalah kemaren." Dengan susah payah Ganis mengeluarkan unek-uneknya. Meskipun masih takut dengan reaksi Elang setelahnya, tapi setidaknya Ganis lega karena dia sudah mengucapkan apa yang ingin dia katakan sejak kemarin.
"Sorry..."
"Eh?"
Diluar dugaan, dia pikir Elang akan mengintimidasinya seperti waktu itu, tapi nyatanya cowok itu justru meminta maaf.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dear, You ✓
FanfictionKepada Rengganis, terima kasih karena sudah hadir di kehidupanku.... ******** Andai Rengganis tidak bertemu dengan Elang di ruang seni musik pagi itu, tentu hidup Rengganis masih baik-baik saja saat ini. Elang yang muncul dan pergi seenaknya setelah...