Sudah lebih dari dua minggu Ganis menunggu Elang, tapi yang di tunggu belum juga menampakkan batang hidungnya di sekolah. Padahal ujian praktek hampir selesai, UAS dan UAN juga sudah di depan mata, tapi Elang belum juga hadir.
Rindu?
Ya begitulah... Tapi Ganis masih malu mengakui itu di depan orang lain, cukup dia dan Tuhan saja yang tau.
Saking lamanya kadang Ganis sampai kesal sendiri, gadis itu mengumpat dalam hati dan berjanji kalau Elang masuk sekolah nanti dia akan mendiamkan cowok itu habis-habisan tidak peduli apapun alasan yang diberikan olehnya. Tapi di lain hari Ganis takut, takut kalau-kalau dia tidak bisa lagi bertemu dengan Elang.
Ditambah lagi pertemuannya dengan seorang wanita dan gadis kecil bernama Laras tempo hari, membuat Ganis yang sudah cemas jadi semakin overthingking mengenai keadaan Elang. Apakah cowok itu baik-baik saja sekarang, atau sebaliknya.
"Kenapa nggak ke rumahnya aja sih Nis?"
Jovita berulang kali menanyakan hal yang sama saat memergoki Ganis menatap tempat duduk Elang yang kosong. Gadis itu tau sahabat baiknya sedang tidak baik-baik saja, tapi Ganis selalu menolak dan mengatakan kalau dia bahkan tidak tau dimana tempat tinggal Elang.
Sore ini, Ganis kembali ke lapangan basket tempatnya dan Elang biasa bermain basket. Melepaskan penat sebentar setelah banyaknya rangkaian ujian yang sudah dia lewati kemarin.
Bunyi berisik dari pintu besi berkarat adalah hal pertama yang menyapa pendengaran Ganis. Tempat itu masih sama sejak terakhir kali Ganis menginjakkan kakinya di sana, yang berbeda hanya beberapa ilalang yang mulai tumbuh di tepi lapangan. Sejenak dia menghembuskan nafasnya, lalu menggeleng pelan.
Elang... tidak mungkin ada di sini kan?
🍒🍒🍒🍒🍒
Ganis benci mengakui ini. Tapi besok adalah hari ulang tahunnya.
Bukan... Ganis bukan membenci hari kelahirannya, dia bersyukur sepenuhnya kok karena sudah di lahirkan ke dunia dan mendapatkan keluarga yang sangat menyayanginya. Hanya saja sejak kecil Ganis sudah terlanjur mengerti kalau ulang tahun adalah kata lain dari pengurangan usia seseorang, jadi sampai usianya 17 tahun ini Ganis selalu menghindari perayaan, kalaupun Ayah dan Bundanya memaksa dia hanya akan memilih untuk membagikan paket makanan ke beberapa panti asuhan di dekat tempat tinggalnya.
Terlebih tahun ini Ganis hanya sendiri di rumah tanpa Dewa, dia sudah bertekad hanya akan melewatinya saja seperti hari-hari biasanya. Ya.. meskipun Jovita sudah sibuk bertanya ini dan itu tentang kado apa yang Ganis inginkan sampai-sampai Ganis jadi heran sendiri, padahal mereka berteman sudah sekian lama tapi Jovita masih saja tidak paham dengan kebiasaannya.
"Ganis!!!!!!!!!!"
Ganis menoleh ke belakang lalu tersenyum kecil melihat Jovita yang berlari ke arahnya dari ujung koridor, gadis berambut panjang itu melambai-lambaikan tangannya heboh.
Yah... kalau tidak heboh begini bukan Jovita kan namanya?
"Suara Lo kenceng amat sih? Sarapan pakai TOA apa gimana deh?" Tanya Ganis saat Jovita tiba di sebelahnya, gadis yang lebih tinggi darinya itu langsung merangkul lengannya sambil tersenyum riang.
"Gue kira Lo pake headset, Ganis... Makanya gue teriak begitu."
"Mana pernah gue pake headset kalo lagi jalan, ngarang aja Lo..." Ganis mencebikkan bibir bagian bawahnya, sementara Jovita tertawa di sebelahnya.
"Eh gimana? Udah mikir belom mau gue kadoin apa?"
"Belom."
"Ih Ganis!!!" Seru Jovita gemas, "Lo tuh ya, heran deh gue. Sweet seventeen ini loh Nis, masa muka lo biasa aja gitu sih?!"
"Antusias dong! Gembira gitu, gembira!" Lanjutnya lagi.
Kedua kaki Ganis berhenti melangkah dan menatap Jovita sambil tersenyum, "it's just sweet seventeen, Jo. Umur gue berkurang setiap detik, bukan sesuatu yang harus di rayakan." Ganis membuka pintu dan masuk ke dalam kelasnya setelah selesai bicara, meninggalkan Jovita yang terdiam menatap punggung sahabatnya itu dari belakang.
"Usia lo berkurang, tapi bukan berarti lo nggak boleh berbahagia karena masih di berikan kehidupan sampai detik ini Nis..."
🍒🍒🍒🍒🍒
Ganis memandang langit-langit kamarnya yang di hiasi stiker bintang-bintang sambil menghela nafas panjang. Hari ini terasa sangat berat untuknya.
Getar ponsel yang diletakkan asal membuat Ganis menegakkan tubuhnya. Senyumnya mengembang saat melihat nama penelpon yang menghiasi layar ponselnya. Dewa.
"Assalamualaikum."
"Waalaikumsalam. Tumben nelpon siang-siang Mas?"
"Yee... Emang kenapa sih? Kamu nggak seneng kalo Mas telepon siang-siang begini?"
"Ya nggak gitu Mas, kaget aja aku. Biasanya kan malem teleponnya, hehe." Sahut Ganis jujur. Ganis rindu ngobrol dengan Masnya seperti ini.
"Lagi ngapain kamu? Udah pulang sekolah?"
Ganis mengangguk dengan semangat, lupa kalau kakak semata wayangnya itu tidak bisa melihat anggukannya.
"Udah Mas. Ini baru sampai di kamar, Mas gimana kabarnya?"
"Baik kok. Tapi memang lagi sibuk banget sih dek, tugasnya itu lho... nggak berhenti-berhenti." Oceh Dewa kesal. Ganis menyunggingkan senyumnya, membayangkan wajah sang kakak yang gemar berbaring itu kelelahan setelah mengerjakan tugasnya.
"Kamu sendiri gimana ujiannya? Lancar?"
"Lancar dong!" Sahut Ganis riang, "tinggal beberapa kali lagi, habis itu selesai deh."
"Alhamdulillah. Seneng Mas tuh kalo kamu semangat gitu."
Ganis terkekeh, "iya lah... Pengen cepat lulus aja rasanya tau nggak Mas, capek ujian terus."
"Nanti kalau jadi mahasiswa lebih berat loh dek."
"Ah, iya juga ya..."
"Lagian kamu tuh suka lucu deh, namanya belajar ya capek." Sekarang ganti Dewa yang terkekeh di seberang sana.
"Hm... Terus, Mas kapan pulang?"
"Rengganis, Mas belum ada sebulan di sini loh."
Helaan nafas berat terhembus begitu saja dari mulut Ganis. Dewa mendengarnya tentu saja.
"Maaf ya, Mas Dewa janji bakalan sering-sering telepon Ganis deh."
"Aku nge-kost aja boleh nggak sih Mas?"
"Eh... Jangan dong, kalau nanti kamu kenapa-kenapa gimana?" Dewa berseru panik.
"Habisnya... Di rumah sepi banget."
Dewa terdiam sejenak, ada nyeri menghujam dadanya mendengar sang adik berkata begitu. Di matanya terbayang senyum Ganis yang berganti dengan wajah sendunya.
Maafin Mas ya Nis, ninggalin kamu sendirian di sana... Tapi Mas harus, karena ini impian sekaligus pembuktian Mas ke ayah sama bunda kalau Mas bisa jadi yang terbaik buat mereka.
"Nis?"
"Halo, Ganis?"
Satu menit berlalu, Dewa baru sadar kalau suara Ganis tidak terdengar lagi. Dia melirik layar ponselnya, panggilannya masih terhubung kok... Lalu adiknya kemana?
"Rengganis?" Panggil Dewa lagi, kali ini yang menyahut bukan lagi suara sang adik melainkan dengkuran halus yang menandakan kalau Ganis sudah terlelap tidur.
Dewa menghela nafasnya kemudian tersenyum sendu, sebelum memutuskan sambungan teleponnya dia berbisik lembut,
"Happy birthday, dek... Mas sayang kamu."
KAMU SEDANG MEMBACA
Dear, You ✓
Fiksi PenggemarKepada Rengganis, terima kasih karena sudah hadir di kehidupanku.... ******** Andai Rengganis tidak bertemu dengan Elang di ruang seni musik pagi itu, tentu hidup Rengganis masih baik-baik saja saat ini. Elang yang muncul dan pergi seenaknya setelah...