.......
"Adek!!! Ada telepon dari Bunda nih!!"
"Iya, sebentar!" Ganis bergegas turun setelah mendengar panggilan Dewa dari ruang tamu.
"Nih, Bunda mau ngomong katanya." Dewa menyodorkan gagang telepon yang di pegangnya pada Ganis.
"Thank you, Mas." Ucap Ganis sambil tersenyum lebar. Ia memberikan flying kiss kepada sang kakak sebelum duduk di atas sofa yang tadi di duduki Dewa.
"Ya Bunda?"
"Halo sayang, sehat dek?"
"Sehat Bun. Bunda sama Ayah apa kabar di sana?"
"Baik. Gimana sekolahnya? Lancar?"
"So far so good lah Bun. Bulan depan udah mulai ujian praktek, terus UAS, baru UN deh abis itu."
"Owalah... cepet juga ya. Oh iya dek, Mas udah ada bilang soal tawaran Bunda sama Ayah?"
"Yang aku suruh kesana? Udah Bun."
"Iya, Bunda sih, pengennya kamu kesini. Biar nggak sendirian di sana. Apa lagi nanti Mas Dewa juga pergi. Gimana menurut kamu?"
"Ganis... Masih bingung Bun."
"Lho kenapa? Ada pacar di sana jadi kamu berat ninggalin?"
Meski hanya lewat suara, Ganis tau kalau Bundanya sedang menggodanya. Dalam hati Ganis merutuk, ini sih tidak lain tidak bukan pasti Dewa yang bercerita macam-macam pada orang tuanya.
Awas aja orang itu, nanti akan Ganis habiskan semua kerupuk udangnya!
"Dek?"
"Nggak Bunda... Ih, pasti kemakan omongannya Mas nih."
Suara tawa Bunda terdengar, Ganis bisa membayangkan wanita terkasihnya itu sedang tertawa sampai kerutan di matanya terlihat —ciri khas Bunda sekali.
"Ganis tuh sama Jo udah janjian mau ikut SNMPTN ke universitas yang di Bandung itu loh Bunda..."
"Beneran bukan karena mas pacar?" Kali ini suara berat sang Ayah yang terdengar. Kedua orangtuanya itu pasti sedang berada di ruangan yang sama.
"Iih, Ayah!!!" Rengek Ganis saat mendengar suara tawa Ayahnya.
"Nggak apa-apa dek, asal temanmu itu baik. Pacaran juga nggak apa-apa kok." Sambung sang Ayah setelah tawanya mereda.
"Tau ah! Ini pasti Mas Dewa yang cerita macam-macam kan? Jangan dengerin Yah, sesat dia tuh." Omel Ganis, "lagian mana ada aku sempet pacaran, ngeliatin soal geografi aja pusingnya minta ampun."
Tawa Ayah dan Bundanya terdengar lagi. Ganis mengerucutkan bibirnya, sebal, kenapa sih keluarganya itu hobi sekali meledek dia?
"Ih terus aja, pada seneng banget sih ngeledekin anaknya sendiri."
"Udah Yah, ngambek nih anaknya. Nggak mau di ketawain katanya."
"Ya udah, jadi gimana? Beneran nggak mau ikut kesini?"
"Kayaknya nggak deh Bun, aku mau coba tes nya dulu."
"Oke kalau begitu. Nggak apa-apa, yang penting kamu sehat dan jaga diri baik-baik disana. Oh iya Nis..." Bunda menjeda ucapannya, "ulang tahun kali ini mau kado apa?"
Ganis terdiam. Pertanyaan dari sang Bunda barusan membuatnya ingat kalau sebentar lagi adalah hari kelahirannya, sweet seventeen —begitu teman-temannya bilang, atau tepatnya, ulang tahunnya yang ke tujuh belas.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dear, You ✓
FanfictionKepada Rengganis, terima kasih karena sudah hadir di kehidupanku.... ******** Andai Rengganis tidak bertemu dengan Elang di ruang seni musik pagi itu, tentu hidup Rengganis masih baik-baik saja saat ini. Elang yang muncul dan pergi seenaknya setelah...