"Serius deh, kayaknya lo harus banyak-banyak nonton film komedi. Biar kotak tertawa di badan lo itu berfungsi dengan baik."
-Ganis-🍒🍒🍒
"Ngelamun aja dari tadi..."
Ganis menoleh kaget waktu melihat Elang tau-tau duduk di sebelahnya sambil menopang dagu.
"Lo... Ngapain disini?"
"Duduk lah, nggak lihat gue lagi ngapain?"
Ganis memutar bola matanya, "maksud gue... lo mau ngapain kesini?"
"Ngajak lo ngobrol." Elang memperlihatkan senyum kelincinya, "abis dari tadi gue ngeliat lo suram banget sih mukanya."
"Lagi ada masalah ya?" Lanjutnya.
"Nggak kok. Sok tau deh." Elak Ganis. Dia baru ingat, Elang tidak masuk sekolah saat dia hampir menangis di koridor depan kelasnya beberapa hari lalu.
Entah apa sebabnya, tapi sepengetahuan Ganis, Elang ini memang sering sekali absen. Dalam sebulan cowok itu bisa lebih dari empat hari tidak menghadiri KBM. Bahkan, usut punya usut, Ghifari pernah mengatakan kalau absennya Elang itu tidak pernah jelas alasannya, Bu Indri —wali kelas mereka, hanya mengatakan Elang izin karena kepentingan keluarga.
"Keliatan kali, muka lo tuh kayak buku yang kebuka sampulnya. Gampang di baca." Kata cowok itu lagi.
Ganis berdecih, "sok tau."
"Serius! Eh ngomong-ngomong Jovita mana? Tumben lo sendirian."
"Ke kantin."
"Lah, lo nggak ikut?"
"Kalo gue ikut gue nggak bakalan ada di depan lo sekarang ya, Elang."
"Lo nggak laper emang? Gue beliin makanan ya?" Cowok itu bergegas bangun dari duduknya, tapi urung setelah sebelah tangannya di tahan Ganis.
"Gue nggak laper, Lang. Duduk deh. Katanya mau nemenin gue."
"Dih, mana ada! Emang makan apaan lo tadi pagi jam sampai segini nggak laper?"
"Makan angin!" Sembur Ganis tepat di depan wajah Elang, membuat cowok itu meringis kaget.
"Lang..."
"Hm?"
"Lo pernah nggak, ngerasa kesel sama Tuhan? I mean kayak... Protes gitu loh. Kenapa hidup lo harus kayak gini, giliran yang lain nggak. Kenapa yang lain begitu dan elo masih begini..."
"Nah kan bener lagi galau..." Ucapan singkat dari mulut Elang membuat Ganis tersentak.
Iya ya, kenapa dia jadi membuka sesi curhatnya pada cowok aneh ini?
"G—gue cuma nanya kok. Lagian itu temen gue yang punya masalah kayak gitu... Bukan gue."
"Aah... Temen lo ternyata." Elang mengangguk-angguk. Melirik dengan tatapan mengejek ke arah Ganis yang terlihat kikuk di sebelahnya.
"Elang... gue serius. Bukan gue..." Ganis merengek sambil menarik-narik lengan seragam Elang.
Dia tau arti tatapan Elang padanya sejak tadi, itulah kenapa dia menyesali mulutnya yang seenaknya bicara pada cowok itu.
Elang tertawa. Tapi anehnya, suara tawa itu justru membuat suasana kelas jadi hening seketika, beberapa siswa —terutama siswa perempuan, yang masih berada di dalam langsung menoleh ke arah mereka berdua dengan tatapan kaget dan takjub seolah-olah yang baru saja tertawa itu adalah si ganteng Lee Min Ho.
Ingat kan, kalau Elang ini cowok yang minim ekspresi dan suara? Seingat Ganis sih, ini kali pertama cowok itu tertawa di dalam kelas. Makanya tidak heran kalau cewek-cewek di kelasnya sampai melongo kaget begitu.
Elang juga tidak kalah canggungnya. Cowok itu langsung buru-buru berdehem dan menetralkan kembali wajahnya.
"Lo sih jarang ketawa, kaget tuh mereka denger lo ketawa." Ujar Ganis pelan sambil menahan tawa.
"Bawel."
Nah kan, dia balik ke sifat asalnya lagi!
Ganis terkekeh, "serius deh, kayaknya lo harus banyak-banyak nonton film komedi. Biar kotak tertawa di badan lo itu berfungsi dengan baik."
"Dikata gue Spongebob Squarepants kali."
"Pfft... Lebih mirip Squidward sih sebenernya."
"Y aja biar cepet. Jadi, lo masih mau ngeledek gue atau mau dengerin tanggapan gue nih?"
"Tanggepan apaan?"
"Dah lah males, balik ke kursi aja gue."
"Eh, eh... Tunggu dong!" Ganis menahan lengan Elang, "Canda kali, sensi banget kayak anak gadis lagi PMS."
"Bodo, Nis.. Bodo." Sahut Elang sambil bersungut-sungut, tapi meski begitu, cowok itu tetap kembali duduk menemani Ganis.
"Jadi gimana?" Ganis merubah posisi duduknya.
"Lo yakin mau denger jawaban gue?"
Ganis mengangguk yakin.
"Lihat segalanya lebih luas lagi Nis. Gue bukannya nge-judge lo sebagai orang yang kurang bersyukur atau apa, tapi ya... emang kunci supaya lo lepas dari perasaan kayak gitu ya bersyukur."
"Lo nggak perlu memaksakan standar lo jadi kayak yang lain. Lo nggak perlu iri karena setiap bahagia itu pasti punya cerita sedihnya sendiri dibaliknya."
Elang terdiam sesaat sebelum melanjutkan kata-katanya, cowok itu menatap tangannya yang sibuk memainkan pensil mekanik milik Ganis.
Untuk sesaat, entah kenapa Ganis merasa cowok di depannya itu kini terlihat menyendu, binar matanya meredup, tidak seperti saat menggoda Ganis tadi.
"Hidup lo yang sekarang, mungkin banyak orang yang pengen juga menikmatinya Nis. Lo sehat, hidup berkecukupan, punya orang tua lengkap, saudara, teman..."
Ganis terhenyak saat Elang mengangkat kepalanya dan menatap kedua matanya sambil tersenyum.
"Jadi... Jangan pernah protes lagi sama Tuhan, ya?"
🍒🍒🍒🍒🍒
Halooo!!!!
Wah, akhirnya. Menetas juga ini bab 11 😭
Kalian apa kabar?
Semoga selalu sehat dan bahagia ya 💜
Maaf kalau chapter ini pendek, soalnya beberapa draft yang ku simpan hilang entah kemana sehabis ponselnya di mainin anakku 😔
Ah pokoknya, semoga kalian menikmati chapter ini dan sampai jumpa di bab selanjutnya.
See you!!!
KAMU SEDANG MEMBACA
Dear, You ✓
FanfictionKepada Rengganis, terima kasih karena sudah hadir di kehidupanku.... ******** Andai Rengganis tidak bertemu dengan Elang di ruang seni musik pagi itu, tentu hidup Rengganis masih baik-baik saja saat ini. Elang yang muncul dan pergi seenaknya setelah...