BERANI MENGAJAK

243 29 2
                                    

Jakarta, Maret 2022

Selama beberapa hari sejak surat itu terbit, Rama jadi sering mengamati situasi di sekelilingnya. Ia jadi sering menajamkan telinganya apabila ada teman sekolahnya yang berkumpul, lalu menatap atau menunjuk sesuatu yang mengarah kepadanya. Setidaknya untuk memastikan bahwa apa yang mereka bicarakan bukanlah soal rencananya mendaftar ke AAU.

Hari-hari berikutnya berjalan sangat normal di sekolah. Rasanya berita tentang surat pernyataan itu tidak menyebar ke kalangan siswa, sehingga tidak banyak teman-teman sekolahnya yang mengetahui rencananya, dan mayoritas dari mereka tetap berhubungan dengan Rama seolah tidak ada sesuatu yang besar yang terjadi. Di waktu senggangnya, Rama tetap bergabung main dengan rekan-rekan klub sepakbolanya.


Bagaimana dengan Shinta?

Hubungannya dengan Shinta masih berjalan baik. Keduanya tidak pernah mengakui bahwa mereka memiliki hubungan khusus, namun bahkan murid terbodoh sekalipun akan dapat mengetahui kalau diantara Rama dan Shinta itu ada perasaan tertentu.

Rama yakin Shinta tidak mengetahui rencananya mendaftar ke Akademi Angkatan Udara, karena saat orang tuanya menandatangani surat ijinnya, Winda tidak ada bersama mereka, dan selama tidak ada seorangpun di sekolah ini yang menanyakan padanya soal kebenaran rencananya itu, maka ia beranggapan bahwa Shinta-pun tidak mengetahui apa-apa tentang hal ini.

Lagipula, ia memang tidak ingin orang lain mengetahui bahwa ia mengikuti ujian seleksi masuk ke Akademi Angkatan Udara. Menurut Rama, tidak ada gunanya untuk berkoar-koar mengenai rencana tersebut, dikala ia masih belum tentu bakal lulus.

'mending nanti aja disampaikan kalau sudah lulus seleksi, kan jadi lebih WOW', pikirnya.


Sejak sekolah mulai aktif kembali di awal semester lalu, Shinta telah menjadi penumpang setia di mobil Rama setiap pulang sekolah. Selain karena rumah mereka yang searah, ada faktor 'W', dalam hal ini faktor itu bernama Winda, yang senantiasa ngotot bahwa Shinta harus pulang bareng mereka.

Setiap sore, salah satu dari mereka bertiga akan duduk menunggu di sebuah bangku taman dibawah kesejukan pohon peneduh dipinggir lapangan sekolah. Sesekali Rama yang duduk disitu menunggu Winda dan Shinta, walau lebih seringnya Shinta yang paling pertama duduk disitu hingga Rama dan Winda tiba. Bahkan saking khas-nya, siswa lain di sekolah menjuluki bangku taman itu sebagai 'Singgasana Rama dan Shinta'.


"hai, Mas Rama". sapa Shinta ketika Rama berjalan kearahnya.

Rama hanya tersenyum dan mengambil posisi duduk disamping Shinta. Ia selalu tersenyum geli setiap mendengar Shinta memanggilnya dengan sapaan 'Mas'. Awalnya itu adalah panggilan Winda kepadanya, tapi makin seringnya mereka bersama, Shinta juga ketularan memanggil Rama dengan sebutan Mas juga.

"Gimana, Mas, persiapan ujiannya?", tanya Shinta.

Rama masih tidak bisa menjelaskan, bagaimana mungkin gadis di sebelahnya ini bisa bicara dengan nada yang begitu halus. Hanya dengan mendengar suaranya, Rama bisa merasa hatinya berdesir.

"Insya Allah siap lah kalau untuk US aja", jawab Rama, berhati-hati berucap agar tidak sampai membocorkan rencana rahasianya.

"Mas Rama sudah fokus banget ya sekarang? Sampai-sampai kata teman-teman pengurus OSIS, Mas Rama sudah tidak bisa jadi narasumber buat acara LDK besok?", kembali suara teduh Shinta, namun bisa memberikan sebuah tekanan tertentu dalam hatinya.

"Ehm, ya...", Rama berpikir sejenak apa yang mau diucapkannya, "Cuma pengen lebih fokus aja sih, Shin, jadi hal-hal yang lain sementara kukesampingkan dulu". Harapan Rama agar kegugupannya saat ini tidak begitu jelas terlihat oleh Shinta.

Sayap Tanah Air - Kepakan PertamaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang