PULANG KE SESUATU YANG BARU

674 29 2
                                    

Orang teknik, kalau sehari saja kepalanya tidak dimanfaatkan, yang ada uring-uringan sepanjang hari. Bisa jadi kepalanya muter kesana-kemari, tangannya gatal ingin memegang sesuatu, atau badannya pegal-pegal untuk dikasih kerjaan.

Dan dalam kondisi demikian, demi memastikan isi kepalanya tetap bekerja, sepulang dinas Rama menyempatkan dirinya berkunjung ke perusahaan milik Papanya.

Perusahaan in-flight catering service itu berhasil melalui periode yang berat beberapa tahun lalu, pasca masa pandemi Covid-19 hingga layanan penerbangan pulih kembali. Kini dengan semakin ramainya volume penerbangan baik lokal maupun internasional, serta semakin stabilnya kembali layanan penerbangan full-service, maka otomatis jasa pendukung seperti perusahaan milik Prabu Prastomo inipun turut menikmati hasilnya.

Jarum jam bahkan belum menunjukkan pukul 5 sore hari itu ketika Rama memarkirkan mobil lamanya di halaman kantor yang sekaligus menjadi pusat pengolahan bahan-bahan makanan itu. Industri yang dilihatnya sekarang sudah cukup berbeda dibanding terakhir dilihatnya sebelum masa pendidikan dulu. Beberapa mesin pengolahan modern sudah terlihat beroperasi di berbagai sudut ruangan. Juru masak dan food tester juga terlihat disana-sini.


"Mas Rama kan?", seorang perempuan berpakaian sangat formal menyapanya yang baru saja memasuki area produksi.

"Mbak Endah?" tanya Rama, berusaha memastikan bahwa orang yang ditemuinya ini adalah pekerja yang sudah mengabdi di perusahaan papanya ini selama beberapa tahun terakhir. "Masih awet, Mbak kerja disini?"

Yang ditanya mengembangkan senyuman, "udah seumur Mbak, udah menikah, rumah dekat, ya mau nyari yang gimana lagi tempat kerjanya? Ya jelaslah masih disini"

"Wah, Mas Rama pakai seragam sekarang benar-benar gagah kelihatannya. Aman deh nanti usaha Pak Prabu kalau ada bekingan aparat"

"Duh, Mbak, jangan begitu. Gak baik lah mencampurkan urusan bisnis dengan instansi negara", jawab Rama. Tentu idealismenya memberikan batas yang jelas tentang mana ranah bisnis dengan ranah aparatur negara.

"Ya terus siapa dong nanti yang melanjutkan bisnisnya Pak Prabu, Mas?", tanya Mbak Endah lagi, "kan diantara ketiga putranya pak Prabu, cuma Mas Rama yang sering ngurus-ngurus disini. Lha kalau Mas Rama enggak melanjutkan, bisa berantakan nanti usaha Bapak"

"Banyak jalan kok, Mbak", jawab Rama tersenyum. "Untuk perusahaan dengan omzet seperti ini, mestinya enggak sulit untuk mencari pelaksana tugas direktur"

"Kalau Mbak Endah sendiri, sekarang job desc-nya ngapain?"

"masih di supply chain", jawabnya, "organizing jadwal pengiriman bahan-bahan dari para supplier"


"Nah, kebetulan calon CEO-nya sudah disini", sebuah suara menggelegar yang sudah sangat Rama kenali sejak kecil.

"Eh, Pa", sambutnya sambil menyalim tangan papanya.

"Gimana rasanya gaji letnan?", goda papanya. Sesuatu yang menurut Rama tidak perlu dijawab. Tidak mungkin seorang berpangkat letnan dua yang baru lulus seperti dirinya akan memiliki penghasilan sebesar pengusaha swasta. Bahkan bila tidak dibandingkan dengan papanya, gajinya masih sangat konyol untuk dibandingkan dengan Mbak Endah.

"Setahap demi setahap lah, Pa, belum juga sebulan aku dilantik", jawab Rama.

"Kita ngobrol diatas yuk", ajak papanya. Atas yang dimaksud itu adalah ruang kerja manajemen perusahaan. "Ndah, panggil Devita dan Ronni, kumpul di ruang meeting ya"


Beberapa menit kemudian, lima orang telah duduk mengelilingi meja bundar itu, dan Pak Prabu menyampaikan pemikirannya. Bahwa di usianya yang sudah menjelang 50 tahun, tentunya mengharapkan anak-anaknya bisa melanjutkan usaha ini. Namun karena ketiga anaknya tidak terlihat berminat untuk melanjutkannya, ia harus memikirkan alternatif lain untuk kelanjutan perusahaan ini.

Sayap Tanah Air - Kepakan PertamaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang