Bab 22 - Tangis Seorang Ibu

1.2K 109 0
                                    

"Ma ... Pa ..."

Nafas Elora semakin naik turun. Dadanya sudah terasa begitu sesak dan nyeri. Ia tak lagi sanggup untuk memanggil Mama papanya yang tengah berada di ruang televisi. Elora memegang dadanya nyeri.

Dengan sekejap, Elora sudah tergeletak di samping kasurnya.

"Alora!" Panggil Anggun yang tengah menonton televisi bersama suaminya.

"Alora!"

"Iya kenapa, ma?" Tanya Alora yang baru saja datang menghampiri Anggun dan Adam.

"Dipanggil berapa kali nggak denger denger, mau jadi orang tuli?"

"Maaf, ma. Tadi aku lagi dibelakang beresin taman," jawab Alora menunduk. Ia berusaha menyembunyikan telapak tangannya kedalam baju karena Alora bukan baru saja membereskan taman belakang. Ia hanya sedang menghibur dirinya dengan benda favoritnya akhir akhir ini.

"Banyak banget alasannya! Buatin teh manis dua sama susu satu. Nanti susunya anter ke kamar Elora!"

"Iya, ma."

"Buruan jangan lelet kaya siput!"

Alora segera mengerjakan perintah Anggun tapi sebelum itu ia harus lebih dulu membersihkan lukanya. Setelah membuat dua gelas teh dan satu gelas susu, Alora mengangkat nampan tersebut hendak mengantar teh pada Adam dan Anggun.

"Ini, ma," ujar Alora meletakkan dua teh manis di samping Anggun dan beranjak menuju kamar Elora.

"Elora!"

"Elora," ujar Alora sambil mengetuk pintu kamar Elora. Alora memutar kenop pintu tersebut dan ternyata tidak dikunci.

Alora melotot kaget saat mendapati keadaan Elora yang terbaring di lantai.

"MA! ELORA PINGSAN!"

Anggun dan Adam yang mendengar teriakan Alora langsung berlari cemas ke dalam kamar Elora.

"Kok bisa gini?" Tanya Anggun cemas menghampiri Elora.

"Jauh jauh sana! Pasti kamu lakuin sesuatu sama Elora!" Tuduh Adam sambil mendorong Alora kuat hingga tubuh Alora menubruk dinding dengan keras. Adam langsung menggendong Elora dan membawanya ke rumah sakit.

***

Seorang wanita tengah menangis di dalam kamarnya. Sesekali ia juga menghapus air matanya dan sesenggukan. Jika kalian berpikir bahwa itu adalah Alora, kalian salah besar. Kini Anggun lah yang menangis.

Lusa sudah tepat satu bulan dimana Elora divonis hanya akan bertahan hidup dalam satu bulan itu. Hal itu membuat Anggun sangat sedih. Ia sama sekali tak sanggup untuk kehilangan putri kesayangannya itu.

Sebuah tangan terulur dan membekap tubuh Anggun. Dengan lembut Adam mengelus elus rambut Anggun. Ia sangat mengerti bagimana perasaan istrinya itu saat ini.

"Nggak apa apa, ma. Elora gadis yang kuat," ujar Adam yang mana membuat Anggun semakin terisak.

"Mama!" Panggil Elora yang baru saja sampai di rumahnya. Tadi siang ia meminta izin untuk bermain dengan teman temannya. Pingsan sudah menjadi hal biasa dalam satu bulan ini bagi Elora tapi Anggun hanya terus berkata bahwa Elora hanya kelelahan. Dengan cepat Anggun menghapus sisa sisa air matanya dan beranjak menghampiri Elora.

"Udah pulang?" Tanya Anggun sambil tersenyum. Elora yang tengah membereskan belanjaannya menoleh.

"Mama nangis?"

"Nggak papa, tadi mama sama papa lagi cerita cerita kisah remaja dulu. Mama jadi kangen sama nenek kamu," jawab Elora.

"Jangan nangis dong, ma," ujar Elora langsung memeluk Anggun. "Walaupun nenek udah nggak ada lagi, nenek pasti bisa lihat kita. Suatu saat nanti kita akan dipertemukan sama orang yang udah meninggalkan kita lebih dulu."

Anggun terisak sambil memeluk Elora. Tangisnya terdengar begitu memilukan. Tangis seorang ibu adalah hal yang sangat mengerikan.

"Mama sayang banget sama kamu melebihi apapun."

"Elora juga sayang banget sama mama," jawab Elora semakin mengeratkan pelukannya dengan Anggun.

Alora yang tengah membereskan ruang tamu menjadi saksi betapa tak berharganya dirinya dimata Anggun.

Alora [TERBIT ✔]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang