Pagi ini Alora memutuskan untuk tidak pergi ke sekolah. Jam juga sudah menunjukkan pukul enam tapi Alora masih setia merebahkan diri di tempat tidur. Jangan bilang Alora gadis malas. Biasanya gadis itu selalu bangun pukul empat dini hari. Namun kali ini gadis itu merasa kepalanya sangat berat dan pusing.
Alora sudah mengaduh sedari tadi karena nyeri dikepalanya semakin terasa. Alora memilih untuk segera bangun dan mempersiapkan sarapan. Takut takut jika Anggun memarahinya karena terlambat melakukan rutinitas.
Belum lagi Alora menyentuh gagang pintu, pintu itu sudah terbuka lebih dulu dan menunjukkan sosok Elora disana.
"Gue laper," ujar Elora menatap sang kakak malas.
"Iya bentar gue siapin dulu," jawab Alora meninggalkan Elora di ambang pintu, mengabaikan kepalanya yang semakin tak karuan.
Alora sama sekali tak bisa berkonsentrasi dengan benda ditangannya. Ia memilih memasak mie instant agar bisa segera kembali ke kamarnya.
Alora menyajikan makanan di meja makan yang mana sudah ada Elora yang mengoceh dari tadi.
"Gue bisa telat tau nggak?!"
"Iya ini udah jadi, gue pusing banget," jawab Alora meletakkan air putih di dekat piring Elora.
"Manja!"
Alora hanya menggeleng. Ia kembali menuju dapur untuk membereskan alat alat masaknya tadi. Alora cepat cepat melakukan pekerjaannya agar segera bisa beristirahat. Jelas ia takut karena sudah pasti Anggun akan memarahinya lantaran beristirahat barang sebentar pun. Tapi setidaknya Alora bisa memulihkan kepalanya.
"Gak sekolah kamu?"
Alora yang tengah mencuci piring menoleh mendengar suara Anggun dibalik tubuhnya.
"Nggak, ma. Alora pusing mau istirahat dulu sebentar," jawab Alora.
Alora hampir terjatuh karena Anggun menarik rambutnya secara tiba tiba.
"Kamu pikir menyekolahkan kamu nggak butuh uang hah?! Enak banget sok sok mau istirahat, sok capek banget sih kamu!" Bentak Anggun menghentakkan kepala Alora.
"Maaf, ma. Tapi ini cuma sehari, Alora bener bener capek, mau istirahat, ma."
"Nggak usah sekolah aja sekalian! Berkurang bebas keluarga. Eh tapi siapa juga yang menganggap kamu keluarga? Gak sudi!"
Alora menunduk mendengar penuturan Anggun. Pisau yang tengah Alora cuci tadi sudah menancap lembut di dalam genggaman tangannya. Menggores luka yang dulu tersayat, menembus kulit itu secara perlahan. Alora sama sekali tak merasa sakit dengan perkataan Anggun, bukan karena mati rasa hanya saja lukanya sudah diganti dengan luka yang indah.
"Melamun lagi! Melamun lagi! Cepat kelarin nyuci piring! Sampah di depan udah numpuk!"
Alora berbalik menghadap piring piring yang tenggelam di dalam air setelah kepergian Anggun. Alora bisa menghilangkan noda dari piring tapi tak bisa menghilangkan noda di dalam dirinya sendiri.
Gadis itu meletakkan pisau yang sedari tadi ia genggam. Alora tersenyum. Akhirnya ia menemukan titik itu. Titik kepuasannya. Titik indah yang bisa menggantikan luka gelap menjadi luka yang indah. Alora tau bagaimana agar ia tak lagi merasa tertekan batin. Alora tahu bagaimana supaya ia tak lagi stres dengan ucapan ucapan yang menusuk telinganya setiap hari. Alora tahu.
Getaran pada saku celana Alora membuat gadis itu merogoh dan mengambil benda pipih tersebut. Ada panggilan dari sebuah nomer yang sama sekali tak Alora kenal. Alora memilih tak peduli dan kembali memasukkan benda itu ke dalam sakunya. Beberapa kali ponsel itu bergetar dan selalu diabaikan oleh Alora. Tapi kali ini kesabaran Alora menghilang, ia segera merogoh sakunya hendak menjawab panggilan tersebut. Tapi bukan panggilan telepon yang Alora dapatkan melainkan beberapa pesan dari nomer yang sama.
Alora menekan ikon pesan membuat deretan pesan itu muncul.
| Halo, dengan Alora?
|Ini gue, Sean.
|Sibuk ya?
|Maaf ganggu.
Alora mengerutkan keningnya, berusaha mengingat siapa orang yang ia kenal dengan nama Sean.
Sean siapa? |
Pak, Reno? |
Hanya nama Reno lah yang Alora ingat lantaran pria itu sempat menyuruh agar Alora memanggilnya dengan sebutan Sean saja.
| Bukan.
| Gue, Sean.
| Sean pacarnya Elora.
Barulah Alora berhenti berpikir keras perihal nama Sean. Alora memang tak tahu nama pacar adiknya itu.
Perlu apa? |
Butuh Elora? Ini gue kasih ponselnya ke dia ya? |
| Jangan!
| Gue ada perlu sama lo bukan sama dia.
Apa? |
Alora langsung memasukkan ponselnya mendengar langkah kaki seseorang. Benar saja, Anggun baru saja datang dan melewatinya begitu saja. Alora buru buru menyelesaikan pekerjaannya dan langsung pergi ke kamarnya.
Alora bernapas legah karena ia berhasil membawa kotak obat obatan ke dalam kamarnya. Alora juga tidak tahu mengapa Anggun melarangnya untuk mengonsumsi obat obatan. Tapi tanpa sepengetahuan Anggun, Alora sudah sering bahkan sangat sering mengonsumsi obat obatan walaupun sebatas obat pereda nyeri kepala.
Alora bergegas menelan obat pereda nyeri kepala agar bisa menyimpannya segera ke tempat semula sebelum ketahuan oleh Anggun.
KAMU SEDANG MEMBACA
Alora [TERBIT ✔]
Teen FictionBelum revisi, revisi versi cetak. ❕FOLLOW DULU. Judul awal : Bukan Kuebiko "Ma, Alora pusing dan terus mimisan. Bisa bawa Alora ke rumah sakit sebentar?" "Pa, aku ulang tahun. Bisakah peluk aku sekali saja?" "Elora, kita kembar, bukan? Bisakah g...