Bab 27 - Penyesalan

1.7K 125 1
                                    

Elora berjalan mondar mandir di depan ruangan IGD. Ia sudah sangat gemetaran sejak tadi. Sean yang duduk di kursi pun tak di anggap ada oleh Elora. Berulang kali Elora menghubungi Adam maupun Anggun, tetap saja tak ada jawaban.

"Kok bisa gini?"

"El," panggil Sean menyentuh bahu Elora. Dengan terkejut Elora berbalik.

"Kenapa?"

"Kenapa dia bisa gitu?"

Elora menggeleng. "Jangan tanya gue, jangan!" Elora menjambak rambutnya sendiri.

"Jangan!"

"El, calm down! Nggak bakal terjadi apa apa sama dia. Tenang ok?" Ujar Sean menurunkan tangan Elora yang menarik narik rambutnya. Elora sudah mulai menangis.

Hatinya terasa dipukul seratus bahkan seribu kali melihat keadaan Alora. Penyesalan secara bertubi tubi menghampiri Elora. Ia sangat menyesal memperlakukan Alora layaknya pembantu. Bahkan lebih hina dari itu. Jika diingat, Alora sama sekali tak memiliki kesalahan apapun kepadanya. Tapi masih tetap, masih terbesit kebencian yang dalam dihati Elora bagi Alora karena insiden beberapa tahun silam.

Elora langsung menatap ponselnya saat benda itu berbunyi. Melihat bahwa yang menghubunginya adalah Anggun, Elora langsung menggulir ikon berwarna hijau itu lalu menempelkan ponsel tersebut di telinganya.

"Kenapa sayang? Kamu nelpon mama lebih dari sepuluh kali, kenapa?"

"Alora, ma. Cepat ke rumah sakit!" Elora berbicara layaknya dikejar setan.

"Kenapa dia?"

"Darah, nggak tau pokoknya mama kesini bareng papa!"

"Udah biarin aja! Nanti juga sembuh tuh anak," ujar Anggun di seberang sana. Tak ada nada khawatir sama sekali dalam suara Anggun.

"BIARIN APA? JADI ORANG TUA TANGGUNG JAWAB!"

Elora mematikan ponselnya tanpa menunggu balasan dari Anggun. Ia benar benar tak tahan dengan ucapan Anggun yang seakan tak peduli dengan keadaan Alora.

"Tenang! Itu mama lo, nggak sepantasnya lo ngomong gitu," ujar Sean mengelus bahu Elora.

"Kakak gue, gue nggak mau kehilangan dia. Gue jahat banget sama dia Sean," ucap Elora. Ia kembali terisak.

"Positif thinking aja ya! Dia pasti nggak apa apa." Elora mengangguk namun masih saja menangis dan menggigit kukunya.

Sudah lebih dari setengah jam Alora dimasukkan ke dalam ruang IGD, tapi dokter pun gak kunjung memberi konfirmasi atas keadaan Alora.

Langkah cepat dari samping Elora membuat gadis itu menoleh dan ia juga langsung berlari jatuh terhambur ke pelukan Anggun. Tangisnya yang tadi sudah mereda, kini kembali terisak.

"Alora, ma."

"Tenang sayang tenang! Sekarang dia dimana?"

Anggun mengikuti arah pandang Elora. Elora berdiri sambil mengigit kukunya selayaknya orang yang memiliki gangguan mental. Lain dengan Anggun, wanita itu berusaha menenangkan Elora yang mana putrinya itu mulai merasa sesak.

"Dengan keluarga pasien bernama Alora?"

Elora, Anggun, Adam dan Sean menoleh cepat mendengar suara seorang suster yang berbicara pada mereka.

"Kami, dok," jawab Elora.

"Penyambungan urat nadinya berhasil. Hanya saja pasien belum sadar. Jadi kalian sudah bisa menjenguk pasien, pasien sudah dipindahkan ke ruang rawat," ujar suster tersebut lalu berpamitan pergi.

"Ayo, ma," ajak Elora menarik lengan Anggun. Anggun menggeleng tak berniat begitu juga dengan Adam. Sedangkan Sean baru saja berpamitan karena memiliki urusan penting.

Mengerti dengan maksud Anggun, Elora masuk ke dalam ruang rawat yang diberi tahu oleh suster.

Sepeninggal Elora, Anggun pergi menghampiri suaminya yang duduk di bangku depan ruang IGD.

"Elora kenapa sih, pa?" Tanya Anggun tak senang.

"Mungkin di pelet sama gadis murahan itu."

"Terus kita harus gimana?"

"Demi Elora, kita harus bersikap sesuai kemauan Elora. Papa nggak mau penyakitnya kambuh," saran Adam dan diangguki oleh Anggun.

Alora [TERBIT ✔]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang