"Lo nggak apa apa?"
Alora berusaha untuk duduk sambil memegang kepalanya yang pusing.
"Pusing banget," lirih Alora.
Elora langsung membantu Alora duduk dan menyodorkan segelas air putih untuk Alora.
Alora menatap Elora bingung. Matanya belum melihat wajah Elora dengan jelas. Bingung saja melihat sikap Elora yang perhatian terhadapnya.
Sedangkan Anggun dan Adam yang duduk di sofa hanya menatap malas ke arah Alora.
Alora tersenyum. "Kalian disini?" Tanya Alora bahagia menatap Adam, Anggun dan Elora secara bergantian. Tak apa jika bahagianya hanya bahagia yang palsu karena Alora pun hidup dalam kepalsuan.
Anggun malah membuang wajah.
"Udah mendingan?"
Alora menoleh mendengar pertanyaan dari Elora yang berdiri di sampingnya. Alora mengangguk senang.
"Bisa bicara dengan orang tua pasien?"
Alora dan yang lainnya menoleh mendengar suara dokter yang berada di ambang pintu. Anggun dan Adam bangkit mengikuti dokter tersebut sampai ke ruangannya.
"Silahkan duduk," ujar dokter tersebut dan dituruti oleh Anggun dan Adam.
"Ada masalah apa, dok?" Tanya Adam. Ia berpikir bahwa ada kendala perihal Alora, sedangkan biaya administrasi sudah ia lunasi.
"Apa pasien sering mengonsumsi obat tanpa resep dokter?"
"Maksud dokter?"
Dokter memeriksa kembali berkas berkasnya. "Kami memeriksa tubuhnya dan menemukan bahwa pasien sering mengonsumsi obat obatan tanpa resep dokter seperti obat tidur, obat pereda nyeri dan banyak lagi. Tak apa jika dikonsumsi sesekali tapi sepertinya pasien sudah bahkan sangat sering mengonsumsi obat obatan tersebut. Melihat data data kami sebelumnya, sepertinya pasien yang bernama Alora juga sudah pernah berobat dengan masalah yang sama. Akibat dari obat obatan tersebut, ditambah karena hal lain membuat pasien mengidap beberapa penyakit salah satunya tumor ganas di kepala. Pasien pasti sudah sering mengeluh pusing dan mimisan berlebih," ujar dokter tersebut menjelaskan. Adam dan Anggun hanya mengangguk mengerti.
"Saya ingin bertanya, banyak sekali luka di tangan, kaki, leher dan bagian tubuh lain pasien. Seperti luka yang disengaja, apa pasien mempunyai masalah dalam keluarga atau sekolahnya?"
Anggun langsung menggeleng cepat. "Tidak, dok. Kehidupan Alora baik baik saja bahkan sangat baik."
"Baiklah kalau begitu."
***
"Nyusahin amat sih jadi orang! Uang berkurang, waktu terbuang, kenapa nggak mati aja sekalian?"
Anggun terus mengoceh tak jelas sejak tadi. Adam sudah pamit ingin melanjutkan pekerjaannya, sedangkan Elora harus pulang karena besok ia harus sekolah dan jadilah Anggun yang menjaga Alora di rumah sakit.
"Maaf, ma," lirih Alora. "Aku akan cepat sembuh kok, nggak akan nyusahin mama."
"Maaf maaf. Emang pakai kata maaf bisa gantiin uang yang udah kami kasih? Cuma karena kebodohan kamu, kami harus membayar mahal semua biaya kamu!"
"Nanti aku kerja paruh waktu, ma biar bisa gantiin uang mama."
"Kerja paruh waktu? Cewek penyakitan kaya kamu mana ada yang mau nampung!" Anggun memasukkan plastik sampah belanjaannya tadi.
"Aku kan cuma cidera, ma. Nanti juga sembuh," jawab Alora.
"Kamu itu penyakitan! Udah mengidap banyak penyakit! Di kepala itu tempat memelihara otak, bukan memelihara tumor!"
"T-tumor?" Beo Alora. Tubuhnya terasa tersengat listrik mendengar ucapan Anggun. Benarkah Alora mengidap penyakit tumor? Mengapa hidup Alora tak memiliki ujung? Satu pun masalahnya tak ada yang selesai dan sekarang datang lagi masalah baru.
"Tumor kan bisa diobati, Ma," ujar Alora berusaha tersenyum menatap Anggun.
"Obati aja sendiri! Kalau mati kan lebih baik," jawab Anggun berjalan untuk membuang sampah yang ia pegang.
KAMU SEDANG MEMBACA
Alora [TERBIT ✔]
Novela JuvenilBelum revisi, revisi versi cetak. ❕FOLLOW DULU. Judul awal : Bukan Kuebiko "Ma, Alora pusing dan terus mimisan. Bisa bawa Alora ke rumah sakit sebentar?" "Pa, aku ulang tahun. Bisakah peluk aku sekali saja?" "Elora, kita kembar, bukan? Bisakah g...