Tujuh - April

251 48 19
                                    

*

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

*

*

"Mas Raka, maaf. Malam ini, kita selesai ya."

Bramaraka Pradipta atau lebih akrab dipanggil Raka mendecih ketika suara merdu milik Maya untuk ke sekian kalinya terputar kembali dalam ingatannya. Wanita kedua kesayangan Raka setelah mendiang sang Ibu dengan begitu tega mengakhiri hubungan mereka beberapa jam yang lalu. Hubungan tiga tahun itu kandas dalam waktu kurang dari setengah jam.

Raka tidak menyangka, pertemuan kembali dengan sang –mantan– kekasih setelah setengah tahun terpisah oleh jarak dan perbedaan waktu justru membawa mereka menuhu perpisahan sesungguhnya.

"Apa selama ini saya salah?" gumam Raka entah bertanya pada siapa.

Entah sudah berapa lama Raka di sini sejak perpisahan itu terucap dari mulut Maya. Berdiri seorang diri di balik pembatas rooftop sepi gedung apartemennya yang berada di tengah kota Jakarta. Hanya lampu dari gedung dan perumahan di bawah sana serta terpaan angin malam yang menemani Raka malam itu.

Mata Raka menatap kosong pemandangan yang tersaji di hadapannya. Dari ketinggian itu, Raka dapat melihat jalanan Jakarta pada pukul satu dini hari yang nampak masih cukup ramai. Mungkin karena memang malam ini malam minggu? Atau mungkin memang Raka saja yang kesepian?

Seakan frustasi dengan keadaan, Raka mendecih penuh keputus asaan. Ia longgarkan dasi pada kerah bajunya. Berharap dengan begitu, rasa sakit dan sesak yang sedang ia rasakan dapat berkurang.

Kedua lengan kemeja Raka sudah ia gulung, rambut yang biasa selalu tersisir rapi juga sudah berantakan akibat ulahnya sendiri.  Ia benar-benar terlihat menyedihkan. Penampilan rapi dan sopan seorang dosen muda yang selama ini ia tampilkan bagai menguap entah ke mana. Kini ia hanya seorang lelaki dewasa yang sedang hancur sehancur-hancurnya.

Ia rogoh saku celananya, mengambil sebuah kotak beludru dengan cincin cantik di dalam sana. Raka pandangi cincin tak berdosa itu dengan tatapan penuh kekecewaan, "Padahal malam ini, saya mau mengajak kamu buat jadi pendamping hidup saya, May."

Ia sudah mantap hati dengan pilihannya untuk membawa Maya ke jenjang lebih serius. Meskipun mendadak, tapi Raka sudah memastikan semua persiapan untuk melamar dan menjadikan Maya wanita terspesial malam ini terencana matang.

"Maya, Maya..."

"Bodohnya saya, harusnya saya curiga waktu kamu kasih kabar kepulangan tiba-tiba kamu," Raka merutuki kebodohannya.

Ia remat kotak kecil dalam genggamannya dengan tatapan senduh, "Bu, ternyata bukan Maya. Bukan dia orang yang pantes buat pake cincin ini, Bu."

Almarhumah Ibu memang punya peran besar dalam hidup Raka. Sosok dengan senyuman cerah yang sudah menghangatkan dan menyinari hidup Raka sedari kecil. Yang selalu menyemangati dan menghiburnya dengan berbagai cara-cara ajaib. Menjadikan Raka tetap bisa bertahan di tengah didikan Bapak yang cenderung kaku dan tegas pada Raka.

Kolase ImajiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang