"Mengejar cinta? Bukan saatnya membuang waktu percuma. Gw akan terus mengejar Dia, Dia dan Dia Sang Maha Cinta." -Keisya Maharani Audya
Ini, cerita seorang remaja biasa. Ketika sebuah cobaan datang, membuatnya tersadar akan posisinya.
Segala upaya...
Langit pagi menderang putih dengan luasnya. Hanya sedikit awan yang terlihat. Papan besar yang dipampang digapura pintu masuk, TPU Awansari JakSel sebagai identitas lokasi ini.
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Kini, Seorang perempuan manis beserta Papahnya, sedang jongkok meratapi sebuah gundukan tanah bertulisan Diana yang terpampang dibatu nisan. Hari libur ini, Keisya mendatangi pemakaman bersama Papah hanya untuk melepaskan rasa rindu. Enam bulan sudah, dua sosok itu ditinggal oleh orang tersayangnya. Mereka sudah mulai membiasakan diri jika tidak ada yang membangunkan ketika pagi. Tidak ada yang memasakkan makanan terlezat ketika sarapan. Dan.. Tiada lagi senyuman hangat seperti Mamahnya.
Keisya mengerti, sebagai anak satu-satunya, ia harus kuat menghadapi likak-likuk hidup ini yang tidak memiliki kata sempurna. Ada saja hal yang cacat yang mesti kita terima. Rasa kehilangan, kesedihan dan putus asa, yang terkadang memenuhi jiwa manusia.
Dengan perlahan, bola mata Keisya melirik kepada Papahnya.
Hem, setidaknya, hingga saat ini ia masih memiliki seorang Papah yang akan selalu menjaganya disituasi apapun. Sikap tanggung jawabnya sudah terlihat dari mudah dan hingga menjadi seorang jendral besar.
"Kenapa sayang? Kamu begitu lama mandang Papah." Satria menyadari sikap putrinya.
Keisya langsung memanglingkan wajah dan melihat ke arah makam Mamahnya kembali. "Gak kenapa-kenapa."
Satria menghembus panjang sembari mendongkak ke langit.
"Ternyata.. Kita bisa menjalani hidup ini dengan baik ya, walaupun Mamahmu udah gak ada."
Keisya melirik.
"dan.. Yang bikin Papah gak nyangka selama kepergian Mamahmu.. Kamu jadi berubah lebih baik kayak gini." Satria menoleh pada putrinya dengan senyuman bangga. Lalu, ia mengelus kepala Keisya yang ditutupi hijab. "hebat bukan?"
Hah Kedua mata Keisya membinar. Apapun yang mengenai keluarganya, entah kenapa hatinya mudah terhayut perasaan.
"Papah yakin banget, Mamah kamu udah lebih tenang liat perubahan kamu sekarang. Tanggung jawab orang tua itu besar, sayang. Gak secepat kilat dan gak semudah membalik tangan menjadikan anak yang sholihah." Satria menggenggam kuat tangan Keisya. "Papah harap, ini sebagai awalan kamu untuk menjadi anak yang bener-bener penyelamat Papah dan Mamah nanti diakhirat, ya?"
"Paah.." Terseguk Keisya. Tangisannya langsung tumpah mendengar itu.
Papah dan anaknya itu pun, berpelukan. Satria menenangkan isak tangis putrinya atas apa yang tengah dirasakannya.
"Udah-udah. Sekarang kamu mau makan?"
Angguk Keisya diatas pundak Papahnya yang masih bermanja.