21| Masa Ujian

61 18 2
                                    

Suasana sore telah hadir. Garis-garis orange selalu menjadi pemandangan indah yang nikmat dipandangi dikala matahari terbenam.

Langit dan Keisya telah siap untuk kembali ke rumahnya masing-masing. Keduanya berpamitan dengan tuan rumah di teras.

Harist yang baru pulang dari kantor, ikut mengantarkan dua remaja itu keluar.

"Kak, kita pulang ya. Makasih Kak Aisyah udah bantu banyak ke kita." ucap Langit sambil memakai tas setelah badannya dibaluti jaket.

"Aku juga berterima kasih sama Kak Aisyah. Begitu beruntung aku bisa diajarin Kakak." tersenyum lebar Keisya betapa bahagaianya dia.

Secara tersembunyi, Aisyah ikut tersenyum dibalik cadarnya. Ia senang jika bantuannya betul-betul memuaskan mereka.

Aisyah tertawa kecil. "Gak juga kok, sebenernya kaliannya yang cepat tangkap apa yang aku jelasin. Kalian hebat!" mengelus-elus pundak Keisya.

Semuanya tersenyum.

"Eem, yaudah Kak, aku sama Keisya langsung pulang, ya."

Harist yang sedang merangkuli Aisyah mengangguki kepala mempersilahkan mereka untuk pulang. "Hati-hati di jalan, ya. Terutama kamu, Langit. Jangan ngebut-nebut bawa motornya."

"Siap, Pak." sahut Langit.

"Kak Aisyah, Kak Harist, aku langsung pulang ya, supir udah nunggu di depan sana." Keisya sudah ditunggui.

"Oh, yaya, makasih udah main. Jangan sungkan kalo ada yang perlu dibantu lagi, ya."

"Ok, Kak. Langit sampai ketemu, ya. Bye." kaki Keisya mundur sambil melambai tangan pada mereka.

"Ya, Kei. Bye juga."

"Assalammualaikum, Kak Aisyah, Kak Harist.."

"Waalaikumsalam warahmatullah.."

Suami istri itu melambai kecil pada Keisya dan Langit yang menuju kendaraannya masing-masing.

Harist menghembus nafas panjang hingga membuat istrinya tertengok padanya.

"Liat seragam sekolah mereka.. jadi inget masa-masa kita dulu." Harist memandangi kepergian Keisya dan Langit. "massa sekolah itu gak hanya tentang belajar aja. Tapi juga bisa menemukan apa itu perasaan suka, sayang bahkan cinta terhadap orang lain."

Aisyah diam memandangi wajah suaminya yang masih terfokus kedepan melihati kepergian dua remaja itu.

Aisyah belum tahu maksud arti ungkapan itu. Tetapi, hatinya merasa setuju jika massa sekolah itu mengenalkan suatu perasaan yang belum pernah dirasakan. Alasannya.. Karena ia pun sudah merasakan hal itu.

Keisya masuk dan menutup pintu mobil dengan bernafas lega. Tentu, lega itu ada rasa kebahagiaan tersendiri. Ia senang bisa bertemu dan belajar bersama Aisyah hari ini.

"Kita jalan, Pak."

"Baik, Non."

Di jalan kota, jalanan diramai oleh banyak kendaraan. Langit mengendarai motor dengan kecepatan sedang di aspal dan saat itu juga, suara-suara adzan magrib menemati perjalanan pulang mereka.













4 hari kemudian.

Jarum jam dinding mengisi kekosongan ruang kelas 12 Mipa. Meja-meja berserta kursinya masih menyatu rapat. Lantai di dalam ruangan juga masih berkilau dan belum ternodai oleh sepatu-sepatu siswa. Papan tulis yang putih dan buku-buku yang tersusun baik, menandakan suasana ruang kelas yang begitu rapih dan bersih. Petugas kebersihan telah membersihkan kelas-kelas diwaktu subuh sebelum siswa-siswa datang.

Insya Allah Sholihah ✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang