Angin sejuk bertiup di sekeliling, menyentuh lembut wajahku dan membangunkan aku dari tidur nyenyak tadi malam. Kubuka kelopak mata perlahan, menyesuaikan diri dengan cahaya sekitar. Aneh rasanya, aku merasa seperti tidur di ruangan terbuka, dengan udara yang terasa lebih dingin daripada yang biasanya kurasakan di dalam kamar. Begitu mataku telah dengan sadar terbuka, aku terperangah.
Tunggu, ini dimana?
Aku menatap sekitar, terlihat rumah besar berwarna putih dengan perpaduan kayu cokelat yang mengkilap berdiri kokoh tepat di depanku. Atapnya tinggi seperti rumah-rumah tua zaman dulu. Tangga yang cukup lebar berundak di beranda rumah dengan lantai berpualam indah, di sisi kiri kanan tertata tumbuhan hias berjajar yang dirawat dengan sangat baik. Halamannya cukup luas dengan rumput yang dipotong rapi, dan aku terduduk di halaman ini.
Apa akut bermimpi lagi?
Seseorang menyentuh pundakku pelan, membuatku menoleh ke arahnya. Terlihat perempuan berparas ayu sedang menatapku bingung, sama bingungnya denganku saat ini. Aku kembali menoleh ke arah kiri, melihat seorang laki-laki yang tampak mirip dengan perempuan tadi, juga menatapku aneh seperti menunggu respon yang kuberikan ketika melihat mereka. Gadis disampingku mengenakan kebaya sederhana berwarna putih dan rok batik dengan motif yang asing bagiku, begitu pula dengan laki-laki yang mengenakan surjan dan sinjang serta blangkon berwarna gelap.
Aku berpikir keras, sungguh aku yakin aku tertidur malam tadi di dalam kamar setelah lelah mengerjakan tugas dari bimbingan belajar. Namun kenyataannya aku kini berada di halaman sebuah rumah yang tidak kukenal. Kalau benar ini mimpi, kenapa anginnya terasa sangat dingin? Aku menampar kecil wajahku, semua terasa nyata.
"Kamu baik-baik saja? Mengapa tertidur di depan rumah kami?" suara perempuan tersebut memecah keheningan pagi, ia berbicara dengan logat Jawa yang kental. Aku tersentak mendengar suaranya, kemudian menekan pelipisku berusaha kembali mengingat mengapa aku disini.
"Gu-Gue ga tau. Ini dimana?" Tanyaku bingung.
"Gue? Apa itu namamu?" perempuan itu terlihat mengernyitkan dahinya.
"Hah?" responku aneh. Apa mereka tidak tahu bahasa sehari-hari daerah Jakarta itu? Apa mungkin ini daerah yang tidak menggunakan pengucapan tersebut?
"Kenapa kau disini? Kau terlihat berbaring di depan rumah kami, entah sejak kapan. Apa ada seseorang yang meletakkanmu disini? Siapa namamu?" Kali ini suara laki-laki di sebelah kiri mencecarku beberapa pertanyaan, dengan logat Jawa yang juga kental.
"Ra-Rania."
"Rania? Aku tak pernah mendengar nama itu di kampung ini, wajahmu pun juga sangat asing. Begitu juga dengan pakaianmu, tak terlihat seperti pakaian pribumi. Apa kau seorang Indo, juffrouw? Dari mana kampungmu berasal, juffrouw Rania?" Perempuan itu menyentuh lenganku sembari tersenyum.
Juffrouw? Kata aneh apa itu?
Sebentar, pakaianku aneh? Aku menatap ke bawah, melihat diriku dalam balutan piyama putih polos, dibalut sweater rajut berwarna cokelat susu. Indo? Maksudnya Indonesia?
Aku terdiam lama, "Aku juga tidak tahu kenapa bisa di sini. Se-sebentar ya," aku merogoh kantong sweater rajutku, berharap menemukan ponsel yang biasanya selalu kusimpan di bagian kantong. Aku meraih ponselku, menghidupkannya dan mencoba melakukan panggilan. Saat ini hanya kontak Aria yang pertama kali muncul dalam pikiranku.
Hanya terdengar suara bip tiga kali, lalu panggilan terputus. Tidak ada sambungan sedikitpun. Aku menatap layar ponsel dan mengetahui sinyal yang tidak ada meski hanya satu garis. Apa aku ada di daerah terpencil? Tanganku mulai gemetar, rasa takut mulai muncul dalam diri.
KAMU SEDANG MEMBACA
Rania van Batavia [✔️]
Historical Fiction# THE WATTYS WINNER 2021 IN HISTORICAL FICTION # Previous Title: "Namanya Hoesni" Aku Rania, seorang mahasiswi tahun akhir ilmu sejarah yang sangat menggemari kisah-kisah menakjubkan dari pergerakan nasional bangsa Indonesia pada masa kolonial. Semu...