Tatapan Sartono membuatku sedikit tidak nyaman. Ia seperti hendak membuatku merasa bersalah padahal aku tak melakukan apapun yang aneh. Sebelum sempat Sartono mengucapkan sesuatu, dari dalam Sartika muncul secara tiba-tiba dan menarik lenganku dengan ekspresi senang.
"Rania! Ibuku sudah pulang! Aku bercerita tentangmu padanya, dan ia bilang ingin bertemu denganmu apabila kamu ada di rumah, ayo ikut aku bertemu ibuku!"
Aku mengikuti langkah kakinya yang cepat, meninggalkan Sartono sendirian di pintu ruang depan. Kami berjalan hingga ke pintu tengah dan berbelok ke lorong panjang di sebelah kiri. Sebuah pintu berdaun lebar dan kokoh tampak tertutup di hadapanku dan Sartika. Gadis satu ini kemudian mengetuk pintu tiga kali dan memanggil ibunya, kemudian ia menyentuh pegangan pintu, membukanya perlahan.
Tampak seorang perempuan dengan sanggul yang cukup besar duduk menghadap meja rias, sedang berkaca. Ia berbalik dengan senyuman lebar di wajahnya, menatap Sartika lembut, kemudian beralih padaku tanpa mengurangi garis senyumannya yang lebar. Ibu Sartika tampak seperti perempuan Jawa dengan paras yang ayu dan lembut, meskipun tatapannya meneguhkan bahwa ia boleh jadi justru seorang perempuan yang kuat dan tegas. Tubuhnya tampak elok dibalut kebaya putih berenda serta kain batik bermotif mewah. Bibirnya diberi pewarna merah mengkilap, semakin menyempurnakan penampilan seorang bangsawan Jawa sepertinya. Pantas saja Sartika sangat cantik dengan wajah ayunya, semua perawakan yang ia dapat berasal dari ibunya.
Aku memutuskan untuk membungkuk sebagai tanda hormat padanya. Ia kemudian berdiri dan berjalan mendekatiku. Bahkan langkah kakinya sangat teratur dan tepat, seperti sengaja dihitung.
"Ibu, ini Rania. Ia datang dari Sumatera untuk menemui saudaranya di sini, tapi ia tersesat. Jadi Sartika dan abang memberikannya tempat sementara sembari ia mencari alamat saudaranya. Rania, ini ibuku. Orang-orang di daerah sini memanggil ibu Malika," jelas Sartika dengan tenang.
Ibunya menatapku tertarik, "Benarkah? Siapa nama lengkapmu, nak? Mungkin ibu bisa bantu menemukan mereka."
Aku menjawab kaku, "Ra-Rania Armita Wijaya, bu. Terima kasih sudah memberikan tempat sementara untuk Rania. Sartika dan mas Sartono benar-benar orang baik."
Ibu Sartika terdiam agak lama, kemudian tersenyum, "Senang bertemu kamu, Rania. Apa kamu mungkin adalah saudara kami dari Sumatera?" wajahnya tampak berpikir.
Mataku membuka lebar, memperlihatkan wajah kaget. Begitu pula dengan Sartika, ia tampak tidak percaya dengan apa yang didengar dari mulut ibunya.
"Benarkah? Apa kita memang punya saudara dari Sumatera, bu? Kenapa Sartika tak pernah tahu ya..." wajah Sartika tampak bingung. Terlebih wajahku, apa mereka memang punya saudara di Sumatera dan mengira aku adalah saudara itu?
"Ya, kita punya saudara di Sumatera. Dimana tepatnya kau berasal, Rania?" tanya ibu Malika menatapku dalam. Aku tak paham tatapan itu.
"A... Aceh, bu..."
"Nah! Saudara kita juga berasal dari Aceh, nak! Ibu baru ingat, keponakan dari nenek ayahmu bernama Wijaya di belakangnya, ia sempat menulis surat kepada ayah dan ibu satu bulan yang lalu dan berkata bahwa anaknya akan berkunjung dan tinggal di Batavia untuk sementara waktu. Bukan begitu, Rania?" ia menjelaskan sembari melihat ke arahku. Tersirat sesuatu dari tatapannya. Aku mulai ketakutan, apa ia tahu sesuatu? Mengapa tampaknya ia seperti berusaha mengarang bahwa aku adalah saudara mereka?
KAMU SEDANG MEMBACA
Rania van Batavia [✔️]
Fiksi Sejarah# THE WATTYS WINNER 2021 IN HISTORICAL FICTION # Previous Title: "Namanya Hoesni" Aku Rania, seorang mahasiswi tahun akhir ilmu sejarah yang sangat menggemari kisah-kisah menakjubkan dari pergerakan nasional bangsa Indonesia pada masa kolonial. Semu...