KEHIDUPAN DI MEESTER CORNELIS

7.8K 1.3K 65
                                    

Aku kesulitan berjalan mengikuti Sartika karena rok batik yang dipakaikan olehnya lima belas menit yang lalu. Meskipun kebaya berbahan katun warna cokelat ini terasa pas di tubuh, aku tetap merasa tak nyaman karena seringkali pakaian yang kugunakan sehari-hari cukup longgar dan membuatku mudah bergerak. Kain batik yang dibalut di pinggang ini juga terasa kuat, sehingga aku agak kesusahan berjalan dan menyesuaikan langkah kakiku dengan Sartika. Ia tampak santai dan terbiasa dengan kebaya dan kain batik yang ia kenakan.

"Rania, ayo duduk di sini," Sartika menarik tanganku mendekati meja makan di ruang tengah rumah mereka. Baru kusadari isi dalam rumah ini pun cukup mewah dengan dominasi kayu yang terlihat kokoh dan mengilap. Aku duduk di salah satu kursi yang ditunjuk Sartika dengan segan. Ada beberapa jenis sarapan yang tampak lezat di hadapanku. Nasi putih panas, ikan goreng, hingga sambal cabai merah, tak berbeda jauh dengan sarapan yang ada di zamanku. Meskipun begitu, aku lebih sering menghabiskan sepotong roti dan segelas susu di pagi hari.

"Ayo dimakan, kamu pasti lapar. Kurasa tubuhmu terlalu kaget dengan semua kejadian ini sehingga butuh makanan untuk energi tambahan," Sartono duduk di seberangku sembari mulai mengambil nasi untuknya di bakul. Sartika pun melakukan hal yang sama, aku mengikuti gerak-gerik Sartika dengan pelan.

"Maaf kami hanya menyediakan ini untuk sarapan. Kami tak tahu apa yang biasa kau santap di pagi hari," ujar Sartika ketika mengambil sepotong ikan goreng.

"Aku biasa makan roti dan minum susu hangat setiap pagi," jawabku berusaha santai. Sartono dan Sartika bergantian menatapku. Apa aku salah jawab?

"Kamu... Benar-benar bukan seorang Indo? Bahkan dari jenis makananmu saja adalah makanan yang biasa disantap orang Belanda di sini, nona," ucap Sartono membuatku terdiam.

"Bu-bukan. Sungguh. Aku pribumi asli," bantahku.

"Kalau begitu siapa nama keluargamu?"

"Emm... Maksudmu?"

"Nama keluarga. Nama lengkapmu, maksudku. Pasti di belakang namamu tercantum nama khas keluargamu."

Aku menimbang ragu, "Rania Armita Wijaya."

Suasana hening. Entah apa yang ada di dalam pikiran mereka mendengar namaku. Apa nama keluarga merupakan kewajiban di zaman ini?

"Wijaya? Sedikit mirip dengan nama keluarga kami. Tapi aku tak pernah mendengar ada keluarga Wijaya yang tinggal di Jatinegara selain kami," Sartika berucap penuh keraguan.

"Mirip dengan nama keluarga kalian?" ulangku.

Sartika mengangguk, "Namaku Sartika Kartosoerjawidjaja, kalau abangku Sartono Kartosoerjawidjaja. Memang hanya mirip sedikit," lanjutnya menjelaskan.

"Apa mungkin saudara yang kamu cari adalah keluarga kami? Tapi seingatku kami tidak memiliki saudara yang tinggal di Sumatera," Sartono terlihat berpikir keras.

Aku menggeleng kuat, "Ah, tidak. Saudaraku tidak bernama belakang Wijaya, dan aku yakin kita tidak memiliki hubungan saudara..." jawabku cepat, berharap mereka tidak bertanya lebih lanjut.

Suasana kembali hening, semuanya sibuk dengan piring makan masing-masing.

"Setelah ini mari ikut kami berkeliling, kau jauh dari Sumatera, pasti tidak tahu bagaimana suasana di daerah ini. Aku dan Sartika akan keluar bersamamu," tawar Sartono, diikuti oleh anggukan semangat Sartika.

Aku menimbang ragu, kemudian mengangguk setuju.

***

Sebuah dokar telah terparkir di halaman rumah keluarga Sartika. Seorang kusir, yang mereka panggil dengan pak Yono, duduk di bagian depan sembari memegang tali yang mengikat dan menghubungkan kendaraan tradisional ini dengan kuda. Dua roda besar yang terbuat dari kayu terlihat kokoh dan meyakinkan untuk dinaiki. Dokar ini pastilah dijaga dengan baik oleh keluarga Sartika karena setiap incinya terlihat bagus dan bersih. Sartono membantuku untuk naik dan duduk di pinggir, diikuti Sartika di sebelahku. Setelah kami duduk dengan tenang, Sartono naik dan duduk di seberangku. Dokar mulai bergerak pelan meninggalkan pekarangan rumah.

Rania van Batavia [✔️]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang