Sudah dua hari aku terbaring di atas tempat tidur rumah keluarga Kartosoerjawidjaja. Semenjak aku pulang bersama Sartika malam itu, kepalaku terus-terusan sakit dan badanku mulai meriang. Beberapa kali Sartika dan Sartono masuk secara bergantian untuk mengecek kondisiku. Sekali dua kali aku menangis, merasa bersalah telah membuat mereka repot. Ibu Malika memberikanku berbagai macam jamu, sedikitnya aku merasa baikan untuk sementara waktu.
Dokter pribumi pun sudah dipanggil oleh ibu Malika kemarin sore, berharap aku mendapatkan pengobatan yang tepat. Dokter itu menyimpulkan bahwa aku terlalu banyak pikiran dan memintaku untuk tidak menanggung semua beban itu sendirian. Bagaimana bisa aku membagi bebanku pada orang-orang di zaman ini? Satu-satunya tempatku berkeluh kesah hanyalah pada ibu Malika yang dengan sabar berusaha mencari jalan keluar atas kondisiku yang tak kunjung dapat kembali ke abadku. Pagi-pagi buta Sartono sudah masuk ke kamarku dan membawa segelas susu hangat serta sepiring roti tawar. Ia duduk di kursi dekat kasur dan melihat ke arahku khawatir.
"Rania, kau sudah bangun?" ucapnya mendekat ke arahku.
Aku mengangguk perlahan, dan berusaha bangun untuk duduk bersandar pada kepala tempat tidur. Sartono meletakkan susu dan piring roti di meja samping tempat tidur dan membantuku duduk dengan hati-hati.
"Aku membawakanmu susu dan roti, kamu makanlah dahulu," ia menyodorkan gelas susu itu. Aku menerima susu tersebut dan meminumnya sedikit. Sartono merobek sedikit ujung roti dan menyuapkannya padaku.
"Terima kasih, mas. Maaf merepotkanmu, kurasa aku akan melakukannya sendiri."
"Tak apa, Rania. Kau harus sembuh terlebih dahulu."
Aku memilih diam dan menerima suapannya.
"Bolehkah aku bertanya sesuatu?" tanya Sartono.
"Tanya apa, mas?"
"Hoesni membawamu kemana malam itu?"
"Ia mengajakku ke balkon lantai atas, mas. Balkon yang cukup luas dipenuhi pot pot bunga, apa kau tahu balkon itu?"
"Ah... Ya, aku juga pernah ke sana. Mengapa ia mengajakmu ke sana?"
Aku menoleh pada Sartono, wajahnya tampak penasaran, "Bukan hal istimewa, ia hanya memperlihatkanku bunga-bunga yang sedang mekar. Ia tahu aku suka bunga," jawabku kemudian.
"Hmm... Tidak ada hal lain yang terjadi? Aku tahu kau berjalan dengan tergesa-gesa diikuti oleh Hoesni di belakang," ia tampak berucap secara hati-hati.
Aku menggeleng, "Tidak ada, aku hanya merasa kepanasan di dalam ruangan dan terburu-buru hendak ke luar."
Sartono mengangguk ragu, kurasa ia ingin tahu lebih banyak namun memilih bungkam. Sesaat kemudian terdengar suara pintu depan diketuk. Pekerja yang biasa menerima tamu segera berlari ke arah pintu dan membukanya, tak lama pekerja itu mengetuk pintu kamarku dan mencari Sartono, ada tamu Sartono, katanya. Laki-laki itu kemudian bangkit dan berjalan ke luar. Hening sesaat, namun aku sayup-sayup dapat mendengar suara Hoesni dan Sartono di ruang tamu.
Kenapa Hoesni bertemu Sartono sepagi ini?
"Pagi, bung! Apa kabar kau? Apa aku mengganggumu?" suara Hoesni terdengar cerah seperti biasa. Namun tidak dengan suara Sartono, ia tampak tak bersemangat menyambut teman sekolahnya itu.
"Ah, aku baik. Kenapa kau ke rumah pagi-pagi sekali?"
"Aku hendak bertemu Rania. Apa aku boleh mengajaknya berkeliling? Aku sudah berjanji padanya hendak mengajak melihat kebunku," ujar Hoesni terus terang.
Suasanya kembali hening, kecanggungannya terasa menyebar hingga kamarku.
"Sepertinya tidak hari ini, Hoesni..."
KAMU SEDANG MEMBACA
Rania van Batavia [✔️]
Historical Fiction# THE WATTYS WINNER 2021 IN HISTORICAL FICTION # Previous Title: "Namanya Hoesni" Aku Rania, seorang mahasiswi tahun akhir ilmu sejarah yang sangat menggemari kisah-kisah menakjubkan dari pergerakan nasional bangsa Indonesia pada masa kolonial. Semu...