Sudah tiga hari Hoesni tak muncul di rumah Sartono, padahal ia berjanji akan mengunjungiku setiap hari untuk mendengar lebih banyak cerita tentang masa depan. Ah, mungkin dia sedang disibukkan dengan perkebunan yang sedang dalam masa panen? Aku berusaha tak terlalu memikirkannya. Kusibukkan pula diriku membantu bu Malika dan Sartika berkebun atau belajar membatik di halaman belakang. Setiap kali aku berpas-pasan dengan Sartono, aku akan memilih untuk merunduk dan tak mengacuhkannya. Entah kenapa rasanya masih sakit setiap kali mendengar kata 'gundik'.
Itu terlalu mengerikan untuk dapat kubayangkan.
"Jangan terlalu lama marah pada Sartono, nak," suara bu Malika yang lembut menyadarkanku dari lamunan. Aku terus mencangkul sedikit demi sedikit tanah dengan sekop kayu kecil bersama Sartika. Kami akan mulai menanam sayur-sayur di halaman belakang rumah keluarga Sartika. Terakhir kali mereka menanami kangkung dan bayam, kali ini mereka memutuskan untuk menambah lahan baru untuk ditanami sawi dan kol.
"Tidak, bu."
"Apanya yang tidak, toh? Sartono sangat sedih karena kau terus tak mengacuhkannya. Ibu rasa dia ingin minta maaf padamu, apapun kesalahan yang sudah ia perbuat." Bu Malika sibuk menyiram air pada bibit-bibit yang mulai bertunas.
"Ibu benar, Rania. Tampaknya abang sedang resah, dia terlihat berkali-kali menuju kamarmu namun tak jadi mengetuk dan kembali ke kamarnya," Sartika turut menimpali.
Aku terdiam. Sebenarnya aku tak benar-benar marah pada sartono. Bagaimanapun, mungkin saja ia khawatir karena aku tak mengindahkan peringatan Elizabeth yang dapat membawa petaka pada diriku nantinya. Namun sulit menjauhi Hoesni apabila dialah yang menjadi kunci jawaban dari pertanyaan mengapa aku bisa terdampar di abad ini. Sudah hampir dua bulan dan aku masih tak tahu apa yang harus kulakukan untuk mengamankan posisiku sekaligus menemukan jawaban dalam waktu yang bersamaan.
"Saya tidak marah, bu. Hanya saja apa yang diucapkan Sartono kenyataan yang benar dan menyakitkan."
"Oh ya? Sartono bilang apa padamu? Berani sekali anak laki-lakiku menyakiti hati perempuan," wajah bu Malika tampak tak percaya. Ragu sebenarnya, namun aku memutuskan untuk memberitahu bu Malika dan Sartika tentang apa yang kualami. Mereka mendengarkan dengan seksama, lalu menghela nafas bersamaan.
"Aduh anak itu, padahal ibu sudah bilang padanya untuk menghormati apapun pilihanmu, nak." Bu Malika menggeleng-gelengkan kepalanya.
"Kurasa karena abang begitu mengkhawatirkanmu, Rania. Ia takut kau dijahati oleh Elizabeth. Gadis keluarga Hartz itu tidak main-main saat memberikan ancaman, kau tahu? Ia pernah menjerumuskan perempuan pribumi yang bekerja di rumah Hoesni ke penjara dengan alasan mencuri perhiasan miliknya. Padahal kenyataan yang sebenarnya dia menyingkirkan perempuan itu karena sepertinya perempuan itu menyukai Hoesni. Ah, bagaimana aku bilang ya? Ia akan melakukan apa pun untuk menjaga Hoesni dari siapapun yang mengganggu hubungannya dengan laki-laki itu, termasuk menyingkirkan siapa pun yang dekat dengan Hoesni. Ia sangat terobsesi pada Hoesni, Rania," Sartika bercerita dengan hati-hati, seperti takut terdengar oleh orang lain.
Aku membelalakkan mata, tak pernah tahu cerita tersebut.
"Sartika, jangan membicarakan aib orang, nak. Biarlah itu menjadi urusannya, saat ini yang penting adalah Rania membuat pilihan terbaik yang tak akan membuatmu menyesal kemudian hari," ujar bu Malika menatapku dalam.
"Iya, bu. Maafkan Sartika. Ah, sepertinya Sartika akan mengambil beberapa bibit timun lagi di gudang," Sartika bangkit dan berjalan menuju gudang yang terletak di samping rumah.
"Apa yang harus saya lakukan, bu? Saya yakin Hoesni adalah jawaban dari pertanyaan mengapa saya ada di tahun ini, namun Elizabeth begitu mengerikan," Aku memainkan tanah dengan ranting kecil.
KAMU SEDANG MEMBACA
Rania van Batavia [✔️]
Ficción histórica# THE WATTYS WINNER 2021 IN HISTORICAL FICTION # Previous Title: "Namanya Hoesni" Aku Rania, seorang mahasiswi tahun akhir ilmu sejarah yang sangat menggemari kisah-kisah menakjubkan dari pergerakan nasional bangsa Indonesia pada masa kolonial. Semu...