Aku berdiri di sebuah taman depan rumah Oma seorang diri. Anehnya, aku tak mengenal taman ini. Seingatku taman di rumah Oma tidak sebesar ini dan dibatasi oleh pagar besi berwarna hitam yang agak tinggi. Kuperhatikan baik-baik rumah ini dan berasumsi ini hanyalah desain rumah yang mirip dengan rumah Oma, mungkin saja berasal dari arsitek yang sama. Bagian depan rumah ini memiliki serambi yang cukup besar, dengan empat kursi kayu mengelilingi sebuah meja bulat. Sesaat kemudian terdengar suara tawa bersahutan tak jauh dari bagian samping rumah. Aku berjalan pelan menuju arah suara dan menemukan sekumpulan pemuda seusiaku tengah duduk melingkar di sebuah saung bambu berukuran sedang. Ada sekitar delapan laki-laki yang mengenakan pakaian tradisional khas Jawa zaman dulu- surjan dan sinjang dengan motif batik yang beragam- lengkap dengan blangkon sebagai penutup kepala.
Aku mengernyitkan dahiku bingung, semua ini terasa asing meskipun ada beberapa wajah di saung tersebut yang sepertinya kukenal. Seorang pemuda melihat ke arahku dan memanggil namaku. Seketika semua mata di saung tersebut melihat kearahku. Laki-laki itu bangun dan menghampiriku dengan senyum hangatnya. Matanya yang besar yang sedikit sayu menatapku penuh binar, hidungnya mancung dan rambutnya hitam kecoklatan disisir ke belakang, kontras dengan kulitnya yang putih bersih. Meskipun ia mengenakan pakaian khas Jawa, tak dapat dielakkan bahwa ada darah Eropa yang membuatnya terlihat seperti pemuda Eropa dengan perawakan Jawa. Ia berdiri tepat di hadapanku dan mengusap pipiku lembut.
"Kamu sudah lama disini? Ayo kukenalkan pada teman-temanku," ujarnya dengan suara yang rendah. Terdengar sedikit logat asing dari bahasanya. Ia menggenggam tanganku perlahan dan menarikku berjalan ke arah saung yang dipenuhi para pemuda yang melihat kami kaku.
Aku terperagah.
Ia adalah Hoesni yang sedang aku cari-cari informasinya di internet, dan aku terbangun tepat sebelum aku berhenti di depan saung bambu tersebut.
Peluhku mengalir hingga tengkuk, kemudian turun membasahi kerah baju tidur yang kukenakan. Udara terasa panas di sekitarku dan nafasku terasa berat. Rambutku berantakan, layaknya gadis yang baru bangun tidur pada umumnya. Aku melirik jam yang tergantung di dinding, pukul 08.15 pagi. Aku tertawa lucu mengingat mimpi aneh semalam. Aku yakin pasti karena aku sangat penasaran dengan sosok Hoesni di foto organisasi tempo dulu yang kulihat di internet semalam.
Sungguh.
'Ah, Rania. Apa karena kamu tidak tahu bagaimana rasanya berkencan maka kamu mulai mengkhayali laki-laki zaman dulu menggenggam tanganmu?' batinku menertawai diri sendiri.
Aku berdiri dan mengecek ponselku, sebuah pesan masuk dari Aria, berisi informasi bahwa ia akan menjemputku pukul sembilan pagi dan menambahkan bahwa Mela tidak bisa ikut karena ada kelas yang harus ia hadiri. Beruntung hari ini jadwalku kosong sehingga aku dapat dengan bebas menemani Aria mencari kebutuhannya. Aku menimbang-nimbang, dan memutuskan untuk menelfon langsung Aria pagi ini.
"Halo, Ran," terdengar suaranya di seberang. Seketika aku terdiam mengingat sepertinya malam tadi aku mendengar suara Hoesni yang rendah dan lembut, berbeda dengan suara milik Aria yang berat. Ah, aku merutuki diriku sendiri yang mulai gila.
"Eh, iya... Gini, sebelum nyari sepatu bola lo, temenin gue ke museum dulu mau ga?" tanyaku ragu.
"Museum? Museum apa?"
"Museum Kebangkitan Nasional, ada yang perlu gue cari tau sebentar,"
"Oh... Yaudah boleh, gue kabarin kalo udah jalan ya." Aku mengiyakan dan memutuskan telfonnya. Aku merasa harus mencari tahu lebih lanjut terkait sosok Hoesni karena rasa penasaran ini pasti akan membuatku susah menjalani kehidupan nantinya. Beginilah Rania Armita Wijaya, seorang gadis 20 tahun yang kalau sudah penasaran akan sesuatu, harus dicari sampai ketemu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Rania van Batavia [✔️]
Historical Fiction# THE WATTYS WINNER 2021 IN HISTORICAL FICTION # Previous Title: "Namanya Hoesni" Aku Rania, seorang mahasiswi tahun akhir ilmu sejarah yang sangat menggemari kisah-kisah menakjubkan dari pergerakan nasional bangsa Indonesia pada masa kolonial. Semu...