LUKISAN

7K 1.4K 34
                                    

"Rania?" suara Sartono membuyarkan lamunanku. aku melirik ke arahnya yang kemudian menunjuk ke arah depan. Aku baru sadar bahwa sedari tadi tampaknya laki-laki di depanku mengulurkan tangannya. semua terasa seperti mimpi, mengetahui bahwa aku malah bertemu seseorang yang mengganggu pikiranku sebelum aku terdampar di zaman ini. Apa mungkin dialah alasan aku tiba-tiba berada di tahun 1920? Ini semua terasa rumit.

Aku menyambut tangannya gugup.

"Senang bertemu denganmu, nona. Aku Hoesni Hendrik Sandjojo, teman sekolah Sartono sedari kami di HBS," suaranya terasa rendah dan lembut. Jantungku kembali berdegup kencang.

"Sa-Saya Rania..." balasku singkat.

Hoesni tersenyum hangat dan mengajak kami untuk duduk di kursi yang mengelilingi meja kecil di serambi rumahnya. Aku mengambil kursi tepat di depannya, hendak memperhatikannya lebih rinci.

"Rania berasal dari Sumatera. Ia baru dua hari disini," Sartono membuka perbincangan.

"Oh ya? Aku begitu penasaran mengenai Sumatera. Beritahu kami di bagian mana tepatnya kamu berasal, nona," ujarnya pelan. Ia menatapku lama, seperti hendak masuk ke dalam pikiranku.

"Eh?" responku gugup, aku bingung harus menjawab apa. Tak pernah terpikirkan olehku akan ditanyai detail tempat yang sebenarnya tidak pernah kukunjungi. Mereka tampak menunggu jawabanku, sepertinya Sartono baru terpikir darimana tepatnya aku berasal. Aku segera berpikir cepat, mengingat sejarah daerah di Sumatera yang pernah kupelajari di kampus.

"Saya tinggal di Aceh," jawabku akhirnya.

"Ah, Aceh? Menakjubkan. Kudengar banyak orang Arab disana?" Hoesni kembali bertanya, kali ini ia terlihat semangat.

"Eh? Ya... begitulah."

"Apa kamu berpergian bersama keluarga ke pulau Jawa?"

"Ia datang mengunjungi saudaranya, namun sepertinya tersesat dan kami membantunya mencari saudaranya," Sartono bersuara.

"Ah, begitu... Siapa nama saudaramu? Mungkin aku tahu. Aku juga akan membantumu mencari saudaramu," ucapannya terlihat tulus, membuatku yakin bahwa penilaian Sartono terhadap Hoesni benar adanya. Ia laki-laki yang baik dan sopan.

"Tak apa, meneer..."

"Jangan panggil aku meneer, panggil saja Hoesni. Aku tak terlalu nyaman dipanggil tuan atau meneer," ia dengan cepat memotong pembicaraan ketika aku menyebut tuan. Aku menelan ludah karena gugup.

"Baiklah. Tak apa-apa, aku dapat mencarinya sendiri. Terima kasih atas bantuanmu, H-Hoesni."

Hoesni menatapku lama, kemudian tersenyum, "sudah sepatutnya aku membantumu. Teman Sartono berarti temanku juga. Ah, sepertinya kalian harus ikut makan siang bersamaku. Matahari sudah tinggi."

Aku menatap Sartono, merasa tak enak.

"Sepertinya tidak hari ini, Hoesni. Kami akan kembali sebentar lagi," Sartono menolak tawaran Hoesni dengan halus.

"Kumohon jangan menolak, bung. Hari ini tidak ada keluargaku, mereka sedang sibuk dengan urusan sendiri di luar sana. Ayolah, temani kawanmu yang kesepian ini," rayu Hoesni pada Sartono, membuat laki-laki Jawa ini tertawa dan mengangguk. Hoesni memanggil salah satu pelayan dan meminta disiapkan makan siang, lalu kami melanjutkan obrolan sembari menunggu hidangan di meja makan selesai.

Aku hanya terdiam dan menatap Hoesni lamat-lamat. Nyatanya aku pun terpesona dengan aura yang dikeluarkan oleh Hoesni secara langsung, sama seperti yang pertama kali kulihat di foto lawas itu. Cara ia berbicara benar-benar menarik perhatianku. Dengan gaya khas bangsa Belanda yang berbicara dalam bahasa melayu, setiap tuturnya keluar dengan baik. Ia tampak nyaman berbicara dengan pribumi, padahal ia adalah seorang Indo. Ah, ia pun tak bertanya apakah aku Indo seperti yang selalu ditanya orang-orang yang bertemu denganku di zaman ini.

Rania van Batavia [✔️]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang