Sepucuk surat sampai di tanganku, mbok Sadikem mengantar langsung surat yang ia terima dari seorang laki-laki muda yang tak dikenal pagi ini. Aku membuka perlahan dan membaca isinya, Sartono dan Sartika yang tengah menyantap sarapan menatapku penuh tanda tanya. Surat dari siapa?
Aku menoleh pada Sartono, "Dari Hoesni, mas."
Sartono berhenti menggerakkan sendoknya, ia menelan habis makanannya dan meminta izinku untuk membaca isi surat tersebut. Tertulis Hoesni meminta maaf dan hendak menemuiku di Molenvliet karena ada hal penting yang ingin ia bicarakan. Sartono menimbang-nimbang ragu, menatapku kemudian.
"Apa kau mau menemuinya?"
"Ya, mas."
"Baiklah, aku akan menemanimu ke sana," sahut Sartono menghela nafas.
Tak lama bagiku untuk bersiap-siap dengan kebaya dan batik serta sanggul. Aku sudah cukup mahir mengenakan pakaian khas bumiputera abad ini dengan rapi dan baik. Sebab Sartika telah mengajariku beberapa kali hingga kini aku dapat memakainya seorang diri. Aku segera berjalan ke teras rumah, melihat Sartono yang berdiri di samping dokar. Ia langsung membantuku naik dan kami bergerak menuju Molenvliet, tepatnya di tepi kanal yang pernah kami kunjungi.
Dokar melambat tatkala berjalan di sepanjang kanal Molenvliet, dan berhenti saat melihat Hoesni yang duduk di bangku panjang tepi kanal bersama Starke, kuda kesayangannya. Ia segera menyadari ada yang datang dan menoleh ke arah kami. Wajahnya tampak kuyu dan tak sehat, entah apa yang terjadi padanya beberapa hari ini.
"Rania..."
"Apa kabarmu, Hoesni?" sapaku berusaha tenang. Nyatanya jauh di dalam hatiku, aku merasa sedih melihat kondisi Hoesni yang tampak depresi. Rambutnya kusut dan tak mengkilap kali ini, meski setelan jas yang ia pakai tetap tampak berkelas.
"Aku... Baik-baik saja. Rania, apakah kau... Mau ikut denganku? Aku hendak membawamu ke suatu tempat."
"Terakhir kali kau membawanya ke suatu tempat, ia kembali dengan air mata, Hoesni," sanggah Sartono berusaha mengingatkan kejadian di pesta rumah keluarga Sandjojo.
"Kumohon, aku tak tahu mungkin saja ini yang terakhir kalinya..." Hoesni tampak frustasi.
Aku menoleh pada Sartono, berusaha meyakinkannya, "Aku akan baik-baik saja, mas. Percaya padaku."
"Baiklah, kupinta sebelum siang kau sudah kembali, Rania," Sartono mundur dan meninggalkan kami dengan dokarnya.
Aku berbalik menatap Hoesni, "Kita mau kemana, Hoesni?"
"Kenangan terbaikku."
***
Meski ini kedua kalinya aku menaiki Starke bersama pemiliknya, tetap saja hatiku merasa berdebar. Entah karena perasaan menegangkan menaiki kuda, atau justru karena laki-laki yang duduk di belakangku mengendalikan tali kekang Starke. Kuberanikan diri menoleh dan menatap wajah serius Hoesni, ia tampak tak bersemangat. Ada kesedihan terpancar dari kedua matanya, bibirnya juga terlihat kering dan pucat, tak segar seperti biasanya.
Starke berbelok dan mulai melambat di sebuah jembatan yang cukup lebar. Aku menatap sungai yang mengalir di bawahnya, sungai Tjiliwoeng, kata Hoesni. Air yang mengalir sangat bersih dan jernih, sampai-sampai aku mampu melihat hingga bebatuan di dasarnya. Hoesni turun dan menawarkan tangannya untuk membantuku turun.
"Kita berhenti di sini?" tanyaku bingung.
"Ini pemberhentian pertama, Rania. Aku ingin melihat pemandangan sungai Tjiliwoeng pagi ini. Biasanya aku lakukan sendiri setiap minggu, namun akhir-akhir ini aku sudah jarang melakukannya," jawab Hoesni santai.
KAMU SEDANG MEMBACA
Rania van Batavia [✔️]
Historical Fiction# THE WATTYS WINNER 2021 IN HISTORICAL FICTION # Previous Title: "Namanya Hoesni" Aku Rania, seorang mahasiswi tahun akhir ilmu sejarah yang sangat menggemari kisah-kisah menakjubkan dari pergerakan nasional bangsa Indonesia pada masa kolonial. Semu...