Tak terasa seminggu berlalu, dan aku pada akhirnya tetap tak membalas surat dari Hoesni. Sekali dua kali aku kembali membuka surat itu, membacanya dan memahami isinya, kemudian melipatnya kembali. Tak jarang aku mencoba-coba belajar ejaan bahasa melayu pada zaman ini dipandu oleh surat dari Hoesni dan beberapa novel berbahasa melayu. Namun pada akhirnya kertas itu kugulung dan kulemparkan ke dalam tempat sampah.
Apa Hoesni telah kembali ke Batavia? Aku tak begitu tahu.
Pintu depan diketuk, disusul seorang pekerja yang tergopoh-gopoh berjalan menuju pintu dan membukanya. Aku mengintip dari balik pintu kamar yang tak jauh dari ruang tamu, merasa penasaran pada siapa yang datang. Boleh jadi itu adalah Hoesni. Aku mengenyahkan pikiran aneh itu, entah apa gerangan aku malah mengharapkan kedatangannya. Tampak seorang laki-laki Eropa yang berpakaian rapi dengan jas dan pantalon menyerahkan sepucuk surat tanpa senyum. Ia hanya berucap sepatah kata dalam bahasa melayunya yang kaku.
"Sampaikan pada keluarga Kartosoerjawidjaja, pinta mereka untuk datang tepat waktu," ia kemudian pergi.
Ibu Malika berjalan menuju pekerja itu dan menerima surat dengan cap lilin klasik tersebut. Ia membuka perlahan dan membaca isi suratnya, kemudian melipat surat itu kembali. Sartono menghampiri ibunya.
"Surat dari siapa, bu?" tanyanya penasaran.
"Dari keluarga Sandjojo, nak. Mereka mengadakan pesta perayaan keberhasilan cabang usaha perkebunan mereka di Surabaya. Acaranya nanti malam, kau mau ikut?"
"Boleh bu."
"Baiklah, ajak Sartika dan Rania, ya."
Sartono menyentuh lengan ibunya perlahan, "Apa ibu yakin mengajak Rania? Mungkin ia tak nyaman berada di antara para londo, bu. Apa ibu tahu minggu lalu anak keluarga Hartz datang dan mengancam Rania karena sepertinya Hoesni tertarik pada Rania." Meski suara Sartono mengecil, aku masih bisa mendengar suaranya samar-samar. Aku menggigit bibirku pelan, hatiku terasa tak enak.
"Benarkah? Ibu rasa gadis londo itu takut Rania berhasil mengambil hati laki-laki yang disukainya. Tidakkah menurutmu jelas posisi mereka setara? Bila anak keluarga Hartz itu cukup percaya pada dirinya sendiri, ia pasti tak merasa terancam dengan keberadaan Rania, nak. Kita berikan keputusan pada Rania nanti, tak apa bila ia tak mau ikut," ujar bu Malika tenang. Ia benar-benar perempuan yang hebat dan rasional.
"Baik, bu, aku akan bertanya padanya nanti," sahut Sartono tak lagi membantah.
Aku segera menutup pintuku perlahan dan duduk di kasur.
***
Tak berselang lama Sartono mengetuk pintuku dan bertanya apa aku mau ikut mereka ke acara keluarga Hoesni. Ia pun berujar bahwa akan ada banyak londo dan pastinya ada Elizabeth di sana, ia pun tak mempermasalahkan apabila aku menolak ajakan itu. Aku menimbang-nimbang sesaat, hatiku berkata bahwa lebih baik aku ikut, karena aku penasaran dengan suasana keramaian para orang Eropa di Indonesia zaman ini. Namun pada satu sisi aku merasa tak ingin bertemu gadis Eropa yang angkuh itu.
Aku memutuskan untuk mengambil kesempatan ini dan pura-pura tak melihat raut kecewa di wajah Sartono. Aku paham ia melakukan ini sebagai salah satu upaya agar aku dapat mulai menjauhi Hoesni, namun aku harus memberanikan diri untuk mencari tahu cara kembali ke zamanku. Salah satunya adalah memastikan hal itu pada Hoesni.
Lalu disinilah aku, berada dalam andong keluarga Sartono yang terlihat lebih mewah daripada dokar biasa. Sepertinya kereta kuda ini memang digunakan untuk acara-acara penting saja. Aku menaiki kenderaan ini bersama Sartono dan Sartika, sedangkan ayah dan ibu mereka berada di andong yang berbeda, karena lima orang dalam satu andong akan mempersempit ruangan di kenderaan itu. Keluarga ini memutuskan pergi lebih cepat, yaitu sebelum matahari terbenam, karena perjalanannya dapat memakan waktu puluhan menit. Mereka tentu tak ingin terlambat berhadapan dengan keluarga pengusaha tersohor di Meester Cornelis ini.
![](https://img.wattpad.com/cover/239863041-288-k190.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Rania van Batavia [✔️]
Historical Fiction# THE WATTYS WINNER 2021 IN HISTORICAL FICTION # Previous Title: "Namanya Hoesni" Aku Rania, seorang mahasiswi tahun akhir ilmu sejarah yang sangat menggemari kisah-kisah menakjubkan dari pergerakan nasional bangsa Indonesia pada masa kolonial. Semu...