Pintu kamar diketuk pagi ini, sedetik kemudian muncul kepala mbok Sadikem yang tersenyum sembari membuka pintu lebih lebar. Ia membawakan sepasang baju yang tampak tak jauh berbeda dengan baju yang kukenakan kemarin; kebaya berbahan katun dengan kain batik. Namun kebaya kali ini dengan motif yang berbeda di tepi bawahnya, serta motif batik yang juga berbeda dari batik kemarin.
"Non Rania, ini pakaian untuk hari ini. Nanti saya letakkan beberapa pasang lagi di lemari ya non," ujarnya dengan aksen Jawa yang kental. Aku mengangguk dan mengucapkan terima kasih.
"Saya mau mandi, kamar mandinya dimana ya mbok?"
"Ada di belakang non, mari saya antar."
Aku mengikuti mbok Sadikem di belakang, berjalan keluar kamar menuju bagian lebih dalam dari rumah ini. Orang tua Sartika pastilah pengusaha rempah yang sangat sukses di masa ini. Semuanya dapat dilihat dari furnitur berbahan kayu yang tampak kokoh dan mewah menghiasi setiap sudut rumah, mungkin kayu jati? Aku tak begitu paham. Patung-patung berukuran kecil dan besar juga turut menyempurnakan rak-rak dengan pahatan yang kompleks. Sepertinya orang tua Sartika memiliki selera seni yang cukup rumit.
Mbok Sadikem berhenti tepat di depan kamar mandi yang cukup besar. Aku mengira kamar mandi mereka akan berada terpisah dari rumah utama seperti yang ditulis dalam buku-buku sejarah. Ah, mungkin saja itu hanya berlaku untuk rakyat-rakyat biasa, bukan bangsawan atau orang kaya seperti keluarga Sartika. Meskipun kamar mandinya cukup besar, tak dapat dipungkiri perkakasnya masih cukup sederhana. Kendi berukuran sangat besar dengan gayung yang terbuat dari tempurung kelapa dan bambu sebagai gagangnya. Lantainya beralaskan kayu panjang yang disusun rapi seperti lantai kayu pada kamar mandi ala Jepang, membuat celah panjang yang tipis pada setiap sisi kayu. Terdapat sumur yang cukup lebar di pojok kamar mandi. Aku cukup bersyukur sudah dapat tempat tinggal sementara waktu, entah bagaimana jadinya bila aku terdampar di tempat yang mengerikan; rumah plesiran, misalnya.
Ah, tak dapat kubayangkan. Rasa takut dan cemas masih tersisa dalam tubuhku, perihal bagaimana caraku kembali saja aku tidak tahu. Pagi tadi saat aku terbangun, menatap ruangan asing yang sama seperti yang kemarin aku tempati membuatku hampir menangis. Beruntung mbok Sadikem datang sehingga aku mengurungkan niatku menangis. Aku mulai membasahi rambut dan tubuh perlahan-lahan, merasakan airnya yang dingin membersihkan setiap inci tubuhku. Air sedingin ini setidaknya mampu membuatku lebih sadar dan rasional untuk mencari cara agar kembali ke zamanku.
Entah bagaimana.
Langkah kakiku berhenti ketika hendak keluar dari pintu kamar mandi, mataku membulat besar. Aku baru menyadari dapur rumah mereka terasa tidak asing untukku meskipun aku baru dua hari di rumah ini. Dapur ini benar-benar mirip dengan dapur di rumah Oma; sudut ruangan, tungku dapur dengan lubang untuk kayu bakar di bagian bawah, rak-rak kayu untuk menyusun piring-piring, hingga wajan yang digantung di sepanjang dinding dapur.
Mulutku menganga kaget.
Ini dapur Oma! Hanya perkakas kecilnya saja yang berbeda, namun desain dan tata letaknya persis seperti dapur Oma. Seketika aku menyadari bahwa bentuk rumah keluarga ini sedikit mirip dengan bentuk rumah Oma, hanya saja terlihat lebih besar dengan sekat ruangan yang hanya ada pada beberapa bagian rumah. Apa mungkin Oma merupakan keturunan yang memiliki kerabat dengan keluarga ini? Mengingat nama Wijaya sebagai nama belakangku, boleh jadi semua ini berkaitan.
Aku berjalan pelan meninggalkan dapur, menelusuri setiap bagian dari rumah keluarga Sartika. Mataku melirik ke kiri pada pintu pertama di lorong panjang yang kutemui setelah keluar dari dapur, pintunya terbuka. Aku yakin ini adalah perpustakaan yang juga ada di rumah Oma. Meskipun aku jarang masuk ke ruangan ini di abadku, aku tahu rak lemari yang lebar dengan ratusan buku mengingatkanku pada hal-hal yang ada dalam perpustakaan Oma. Semuanya sama, meskipun perpustakaan Oma lebih tua dan berdebu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Rania van Batavia [✔️]
Ficción histórica# THE WATTYS WINNER 2021 IN HISTORICAL FICTION # Previous Title: "Namanya Hoesni" Aku Rania, seorang mahasiswi tahun akhir ilmu sejarah yang sangat menggemari kisah-kisah menakjubkan dari pergerakan nasional bangsa Indonesia pada masa kolonial. Semu...