Aku masuk dalam sebuah restoran Jepang di salah satu mall besar di Jakarta, mengarahkan diri pada pojok ruangan yang diisi sepasang lelaki dan perempuan yang kukenal. Meskipun Aria dan Mela tahu akan bertemuku di sini, mereka tetap saja terkejut menatap kedatanganku dari kejauhan. Aku berdiri canggung menyapa mereka berdua.
"Ha... Hallo," ujarku kaku.
"Halo Rania, udah lama ya," ujar Aria hangat. Ia tampak tak berubah, tetap saja sopan. Mela menatapku dengan mata yang berkaca-kaca, sedetik kemudian ia tak mampu menahan air mata yang tumpah. Ia segera bangkit dari duduknya dan memelukku erat, membuatku ikut menangis. Sungguh aku merindukan kedua sahabatku, aku takut sekali bila mereka marah dan tak mau menemuiku lagi.
"Lo keliatan beda," ujar Mela menatapku. Aku menyadari warna rambutku yang masih pirang kecoklatan sejak diwarnai oleh madam Dorothy, tubuhku juga semakin kurus dan gaya pakaianku berubah. Entah mengapa aku lebih nyaman memakai rok akhir-akhir ini. Kurasa kain batik dan kebaya yang selalu kupakai di tahun 1920 telah merubah selera berpakaianku. Mela tentu semakin yakin perubahanku terjadi selama di Belanda.
Aku duduk di hadapan mereka berdua dengan canggung.
"Gimana di Belanda? Kata Oma lo sekolah di sana?" tanya Aria membuka percakapan.
Aku menggeleng, "Awalnya aku cuma mengunjungi saudara ibuku yang sakit, Ar. Aku memang berencana kuliah di sana, tapi aku ingat Omaku sendirian di sini. Jadi setelah tiga bulan aku kembali," jawabku.
Aria dan Mela menatapku bingung, membuatku menerka apa aku berkata sesuatu yang salah.
"Kok lo ngomongnya jadi kaku gitu sih? Kebiasaan ngomong bahasa Belanda apa gimana?" tanya Mela aneh.
Aku menggaruk rambutku yang tidak gatal, kemudian mengangguk, "Ya... Kebiasaan di sana ngomongnya baku," jawabku asal.
"Kenapa lo ngga kasih tau kita, Ran? Bahkan Aria baru aja kemarinnya pergi sama elo kan ke museum? Kenapa lo menghilang tiba-tiba?" Mela kembali mencecarku dengan pertanyaan- pertanyaan. Aku sudah siap dengan jawaban yang sudah kudiskusikan terlebih dahulu bersama Oma. Kuberitahu mereka bahwa aku mendapatkan kabar mendadak, tanpa sempat memberitahu siapa pun aku harus berangkat segera karena yang sakit adalah kakak laki-laki ibuku. Aku tak sengaja meninggalkan ponselku di rumah Oma dan tak sempat membeli yang baru karena kesibukanku membantu sepupuku merawat paman hingga membaik, kemudian aku diajarkan bercocok tanam selama di sana.
Sejujurnya alasan ini memang bodoh sekali. Bahkan saat teknologi sudah sangat canggih dan hampir seluruh manusia bergantung padanya, tentu tak masuk akal aku tak memakai ponsel selama berbulan-bulan lamanya. Tapi Aria dan Mela tentu akan percaya sebab aku memang tak terlalu bergantung pada media komunikasi itu. Tidak seperti mereka yang bahkan membawa ponsel hingga ke toilet ketika hendak buang air besar.
"Lo seriusan ngga megang ponsel selama tiga bulan? Terus gimana cara lo hubungin Oma?" Aria bertanya aneh.
Aku meringis, "Iya, rumah saudaraku, eh gue, lokasinya itu di desa yang jauh dari jalanan besar dan perkotaan. Jadi kalau mau beli ponsel baru akan sangat buang-buang waktu dan uang, jadinya gue pakai ponsel sepupu gue buat menghubungi Oma," jawabku dengan bahasa yang kacau.
"Lo harusnya hubungin kami pake ponsel sepupu lo itu, Rania. Tega banget lo ninggalin kami tanpa kabar apa pun, bahkan Oma sendiri yang ngurusin surat cuti lo ke kampus. Lo tega ninggalin Oma dan kami," sahut Mela kemudian kembali merengek. Aku hanya mengelus tangannya merasa bersalah.
"Terus, siapa yang ngelamar lo di sana?" tanya Aria menatap jemariku yang tersemat cincin emas. Aku segera menyembunyikannya.
"Ngga, ini dikasih Oma," sahutku.
![](https://img.wattpad.com/cover/239863041-288-k190.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Rania van Batavia [✔️]
Ficción histórica# THE WATTYS WINNER 2021 IN HISTORICAL FICTION # Previous Title: "Namanya Hoesni" Aku Rania, seorang mahasiswi tahun akhir ilmu sejarah yang sangat menggemari kisah-kisah menakjubkan dari pergerakan nasional bangsa Indonesia pada masa kolonial. Semu...