Aku telah menyelesaikan tiga pucuk surat yang kutujukan pada Sartika, Sartono, dan Hoesni. Surat ini sebagai upaya untuk pesan terakhir apabila aku tak dapat memberi tahu mereka kapan tepatnya aku akan kembali. Boleh jadi aku akan menghilang tiba-tiba, saat seperti pertama kali aku muncul di abad ini. Aku mencoba tulis dengan gaya tegak bersambung yang rapi, mengikuti gaya tulisan pada abad ini, tapi aku tak terlalu mahir melakukan hal tersebut. Tak apa, aku tak terlalu memikirkan hal itu, yang penting mereka mampu membaca tulisan yang susah payah kubuat mengikuti kaidah penulisan abad ini.
Kulipat surat-surat itu dan kumasukkan ke dalam amplop coklat muda. Aku meminjam stempel berbentuk bunga mawar indah milik madam Dorothy, melelehkan lilin dan menumpahkannya di atas amplop agar tersegel dengan baik, kemudian mencetak lilin itu dengan stempel madam Dorothy. Ternyata membuat surat sangat menyenangkan, ada kepuasan tersendiri mengingat usahaku menemukan kata-kata yang tepat dan baik agar dapat terus diingat oleh ketiga teman baikku. Kuharap surat-surat ini dapat menjadi kenangan yang indah untuk mereka, tentang seorang gadis dari masa depan yang terjebak pada masa lalu.
Pintu kamarku diketuk, madam Dorothy berdiri di daun pintu yang terbuka dan menatapku cemas, "Ada yang mencarimu, Rania."
Aku meletakkan surat-suratku yang telah tersegel rapi di dalam laci meja rias, kemudian bangkit mendekati madam Dorothy.
"Siapa, madam?"
Wajahnya ragu, "Anak keluarga Van Hartz."
Kurasakan ketegangan dalam diriku mengalir dengan cepat, memenuhi relung-relung dalam jiwa. Apa gerangan Elizabeth datang menemuiku? Apa ia ingin melampiaskan kemarahannya langsung padaku? Tapi rasanya tak mungkin, sebab ada dua penjaga di luar sana yang bersiap untuk melindungiku apa pun yang terjadi karena aku adalah tahanan yang masih harus hidup sampai mereka menemukan keterangan yang jelas mengenai statusku.
Ah, aku lupa, mereka boleh jadi akan berada di pihak Elizabeth sebab ia berasal dari keluarga Van Hartz yang dipandang, sedangkan aku hanyalah anak Indo yang belum jelas statusnya.
"Tak apa, madam. Aku akan menemuinya," jawabku kemudian.
Madam Dorothy mengangguk dan mengantarkanku ke ruang tamu yang dekat dengan halaman samping rumah, sedikit jauh dari para pengawal yang berjaga di pintu depan. Aku melihat Elizabeth duduk dengan angkuhnya menatap hamparan bunga di halaman samping. Saat ia menyadari ada yang datang, ia segera menolehkan kepalanya, menatapku dingin. Madam Dorothy meninggalkan kami berdua dan memerintahkan pekerja untuk membawakan kami dua cangkir teh dan biskuit. Aku segera duduk tak jauh dari tempatnya.
"Apa gerangan kau kemari, juffrouw Elizabeth?" tanyaku membuka percakapan.
"Aku ingin menyapa teman sebangsaku hari ini dan mencari tahu bagaimana kabar kowe," jawabnya santai sambil mengayunkan kipasnya perlahan, tentu dengan senyum tersirat di wajahnya.
"Aku baik-baik saja," sahutku tanpa senyum.
"Ah, ya, tentu saja kowe baik-baik saja dengan semua status kebangsaan Eropa yang melekat pada kowe saat ini."
Aku terdiam, berusaha menerka apa tujuan kedatangannya hari ini.
"Aku kira bangsa Eropa adalah bangsa yang jarangkali mau berbasa-basi dan suka berterus terang, bukan begitu?" tanyaku, menambil cangkir teh berry yang baru saja diletakkan.
Elizabeth mendelik ke arahku, wajahnya mulai masam.
"Kowe tampak sombong setelah status kebangsaan kowe naik," ujarnya.
Aku tersenyum, "Dari awal memang sudah begini, Elizabeth."
Elizabeth tertawa sinis, "Dari awal kata kowe? Apa ternyata kowe juga bangsa Eropa di zaman kowe?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Rania van Batavia [✔️]
Historical Fiction# THE WATTYS WINNER 2021 IN HISTORICAL FICTION # Previous Title: "Namanya Hoesni" Aku Rania, seorang mahasiswi tahun akhir ilmu sejarah yang sangat menggemari kisah-kisah menakjubkan dari pergerakan nasional bangsa Indonesia pada masa kolonial. Semu...