Sudah hampir satu minggu aku berada di Batavia 1920, aku belajar banyak dan menyesuaikan diri di zaman ini. Sulit memang, dengan semua hal-hal yang sangat berbeda di zamanku. Rambut yang harus selalu disanggul, pakaian yang pas dan rok yang ketat melilit pinggang harus kubiasakan. Namun terlepas dari hal itu semua, lebih sulit bagiku untuk membiasakan diri melihat perbudakan yang dilakukan oleh bangsa Belanda. Betapa tak terhitung banyaknya pribumi yang dijadikan baboe atau djongos, bahkan gundik. Seringkali mereka tak diperlakukan manusiawi, padahal ini tahun 1920, dimana perbudakan tak lagi berlaku sejak 1900 dan politik etis mulai diterapkan. Lagi-lagi, itu semua tidak menjamin mereka benar-benar 'berbalas budi'. Hal yang paling disyukuri adalah lahirnya orang-orang terpelajar yang mulai sadar bahwa mereka dijajah di tanah milik sendiri.
Tiga hari ini pula wajah Hoesni terlihat muncul di beranda rumah keluarga Sartono, mencari-cari keberadaan teman priayinya itu dan mengajak berbincang di pondok bambu samping rumah. Setiap kali ia bertemu Sartono, ia akan meminta Sartono untuk memanggilku dan Sartika, lalu kami akan berbincang hingga sore. Kurasa Hoesni adalah laki-laki yang senang berdiskusi mengenai hal-hal penting di negeri ini; ia akan membahas mengenai peraturan baru terkait banyak hal, seperti gula atau kopi, yang dibuat pemerintah Belanda yang hanya bertujuan untuk menguntungkan mereka, atau mengenai bangsa Jepang dan tren kimono yang dikenakan banyak orang Belanda dan bangsawan di Hindia, tanpa tahu mereka akan datang dua puluh tahun dari sekarang.
Aku berjalan pelan menelusuri rak-rak buku yang terlihat masih kokoh dan bersih. Berbagai macam buku tersusun rapi sesuai urutan huruf dan jenisnya. Kuambil satu dua buku yang menarik perhatianku, kemudian judulnya membuatku meletakkan kembali buku-buku itu. Aku tak paham karena bahasa yang tertulis adalah bahasa Belanda. Kupilih lagi buku-buku lainnya, satu dua terlihat judul dalam bahasa melayu dengan penulisan tempo dulu. Tampaknya buku-buku yang berbahasa melayu didominasi oleh romansa, mungkin koleksi milik Sartika.
"Kau tertarik dengan buku itu?" suara Sartono mengagetkanku. Entah mengapa aku seringkali terkejut sejak tiba di zaman ini.
Aku membalikkan bukunya dan menempatkannya kembali di rak, "tidak terlalu."
Sartono masuk dan berjalan ke arahku, ia mengeluarkan sebuah buku dengan sampul berwarna hijau tua dari raknya, dan mengarahkan padaku.
"Buku-buku yang kau pegang tadi milik Sartika, ia sangat suka roman. Aku yakin kau tak terlalu suka buku yang membosankan seperti itu, isinya hanyalah perihal kawin paksa, atau pertentangan adat. Coba baca ini, perseteruan antara kaum muda dan kaum tua yang menakjubkan."
Aku mengambil buku dari tangannya dan membuka lembar demi lembar. Tampak menarik, meski bahasanya mungkin sulit kupahami karena penulisan tempo dulu.
"Terima kasih."
"Apa kau suka buku-buku berbahasa Belanda? Aku punya rekomendasi buku yang sangat bagus, ditulis langsung oleh seorang londo yang mengkritik praktik penindasan yang dilakukan Belanda," ia menarik sebuah buku dengan sampul berwarna krem polos. Tertulis 'Max Haveelar' di baris paling atas, diikuti oleh beberapa kata dalam bahasa Belanda yang tak kupahami. Lalu pada bagian tengah tertulis nama pena 'Multatuli'.
Ah, siapa yang tak tahu buku ini? Sebuah novel satiris menakjubkan yang dikarang oleh seorang Belanda dengan nama asli Edward Douwes Dekker, yang menceritakan tentang penderitaan bangsa Indonesia karena sistem tanam paksa yang diberlakukan pada masanya. Meskipun ini cerita roman, kisah di dalamnya sukses menghanyutkan perasaan siapa saja yang membacanya, pun menggemparkan orang-orang di Eropa sana.
"Aku tak mengerti bahasa Belanda, mas. Tapi aku yakin ini buku yang luar biasa," ucapku pelan, meskipun aku sudah membaca terjemahannya.
"Kau bisa bahasa Inggris namun tak bisa bahasa Belanda? Sungguh aneh. Ini merupakan buku yang kubeli ketika aku sekolah di Rotterdam. Sepertinya buku ini tak ada di Hindia, padahal isinya tentang Hindia. Sayang sekali kau tak paham tulisannya," ia meletakkan kembali buku itu.
![](https://img.wattpad.com/cover/239863041-288-k190.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Rania van Batavia [✔️]
Исторические романы# THE WATTYS WINNER 2021 IN HISTORICAL FICTION # Previous Title: "Namanya Hoesni" Aku Rania, seorang mahasiswi tahun akhir ilmu sejarah yang sangat menggemari kisah-kisah menakjubkan dari pergerakan nasional bangsa Indonesia pada masa kolonial. Semu...