Angin berhembus pelan menyentuh kulitku, rasanya dingin hingga menusuk tulang. Kubuka kelopak mataku, menatap rimbun daun-daun di pepohonan dan langit malam yang gelap tak berbintang. Kepalaku pusing, dan badanku terasa sangat sakit. aku mengusahakan diriku untuk bangkit dari posisi tidur, menyesuaikan mata dari lingkungan sekitar. Lampu-lampu taman berdiri tegak menghias sepetak luas tanah yang ditumbuhi rumput dan bunga-bunga. Aku menemukan diriku sedang duduk di bangku panjang, kemudian kembali melemparkan pandangan ke sekitar. Daerah ini terasa tak asing bagiku, sepertinya ini taman di dekat rumah Oma.
Apa aku sudah kembali ke abadku yang sebenarnya?
Aku mulai berdiri, menyesuaikan diri di tanah. Kuratapi kakiku yang tak memakai alas apapun, hingga aku dapat merasakan tekstur rumput yang basah di telapak kakiku. Ah, tak usahlah aku peduli pada hal ini. Sebab ada hal yang lebih penting, yaitu kembali ke rumah Oma. kulangkahkan kakiku keluar dari area taman, berjalan secara hati-hati ke jalanan beraspal. Sembari menatap sekitar, aku menerka jam berapa saat ini, karena jalanan mulai sepi meski ada satu dua kenderaan berlalu lalang. Bodohnya aku, hampir saja aku tak mengenali kenderaan roda dua dan roda empat yang melewatiku. Kurasa aku terlalu lama di tahun 1920.
Kira-kira tanggal dan bulan berapa hari ini? Aku tak lagi menghitung hari sejak kedatanganku pertama kali di satu abad sebelumnya. Apa ini Mei? Atau Juni? Aku bahkan sedikit ragu kemana langkah kakiku harus berbelok ketika menemui persimpangan. Padahal aku yakin daerah rumahku tidak berubah banyak, hanya memoriku saja yang tak kunjung melakukan refresh perihal ingatan di tahun ini.
Aku memasuki jalan perumahan yang dijaga oleh pak Karman dan temannya seperti biasa. Laki-laki paruh baya itu tampak aneh melihatku, dengan penuh ragu ia datang menghampiri.
"Dek... Rania, toh?" sapanya dengan raut muka yang serius.
Aku mengangguk pelan.
"Kenapa jalan sendirian jam dua pagi begini? Bukannya kata bu Martina, dek Rania sedang bersekolah di... Belanda?" tanya pak Karman bingung.
Aku pun bingung dibuatnya. Belanda? Sejak kapan? Apa jangan-jangan Oma selama ini memberikan alasan pada orang-orang bahwa aku pindah ke Belanda?
"Kapan pulangnya? Kok bapak ngga pernah lihat kamu, tiba-tiba dini hari begini jalan sendirian tanpa sepatu?" ia kembali melemparkan pertanyaan, penuh tanda tanya.
"Eh... Itu pak, saya baru saja kembali dan menginap di rumah teman," karangku.
"Oh ya? Kenapa kembali ke rumah tengah malam begini, nak?"
"Emm... Saya tiba-tiba ada urusan penting yang harus langsung disampaikan dengan Oma, jadi saya buru-buru ke sini dan lupa pakai sendal, pak. Rumah teman saya ga jauh kok, pak, dekat taman di sana. Jadi saya langsung jalan kaki saja ke sini. Saya duluan ya, pak," jawabku cepat dan segera meninggalkan pos satpam jalan perumahan. Pak Karman hanya mengangguk bingung dan menatap kepergianku.
Tapak kakiku mulai sakit, sebab jalanan aspalnya terasa cukup kasar. Kutatap rumah Oma yang dipagari dari kejauhan. Setelah diperhatikan lama-lamat, memang rumah Oma sangat mirip dengan rumah keluarga Kartosuryawidjaja. Namun rumah Oma memiliki teras yang tak seberapa dengan halaman yang jauh lebih mengecil, hanya beberapa meter ke jalan saja. Halaman samping pun hanya diberi batasan kecil sebab keluarga Oma tampaknya memperlebar rumahnya ke samping. Kulihat gerbang yang tampak digembok, bagaimana caranya aku masuk? Tak mungkin aku ribut memanggil-manggil Oma dari luar pagar.
Tak ada cara lain, aku harus memanjat pagar Oma yang cukup tinggi ini.
Berbulan-bulan di zaman kolonial membuatku kesulitan bersikap seperti aku yang biasanya, yang cukup tangguh melakukan hal yang jarang dilakukan perempuan biasanya. Kini aku kesulitan menaiki pagar rumah Oma, namun aku harus berusaha sekuat tenagaku. Hampir saja aku terjungkal jatuh, tapi aku berhasil menapaki kakiku di pekarangan rumah Oma. Sungguh, seluruh badanku terasa sangat sakit, dan kepalaku sangat pusing.
![](https://img.wattpad.com/cover/239863041-288-k190.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Rania van Batavia [✔️]
Ficción histórica# THE WATTYS WINNER 2021 IN HISTORICAL FICTION # Previous Title: "Namanya Hoesni" Aku Rania, seorang mahasiswi tahun akhir ilmu sejarah yang sangat menggemari kisah-kisah menakjubkan dari pergerakan nasional bangsa Indonesia pada masa kolonial. Semu...