Sebuah surat yang dimasukkan ke dalam amplop klasik diantarkan oleh mbok Sadikem langsung ke kamarku pagi-pagi sekali. Aku yang baru saja selesai mandi menerimanya dengan tatapan bingung. Siapa yang mengirimiku surat? Segera kubuka dan mencari tahu pengirimnya.
Ah, pria campuran itu.
Isinya tidak panjang, namun dengan gaya bahasa tempo dulu membuatku tersenyum geli, rasanya seperti dikirimi surat oleh kakek yang rindu pada cucunya.
Teroentoek Ranïa,
Aneh rasanja memikirkan betapa akoe soedah rindoe padamoe padahal kita baroe bertemoe kemarin pagi. Kenapa kamoe soelit sekali hilang dari dalam kepalakoe? Kamoe tahu? Akoe hendak mendjempoetmoe lagi pagi ini oentoek membawamoe berkeliling ke daerah lainnja di Batavia ini. Kamoe tahu Passer Baroe? Akoe hendak membawamoe ke sana, ada banjak barang-barang bagoes jang moengkin kamoe soeka, lalu kita akan ke Theater Schouwburg oentoek menonton pertoendjoekan moesikal indah karja Pisuisse dan Blokzijl. Kau tahoe mereka? Pemoesik kesoekaankoe.Ah, tampaknja akoe menoelis terlaloe pandjang. Sajang sekali akoe tak dapat membawamoe berkeliling hari ini. Mama dan papa mengadjakkoe dan abangkoe oentoek mengoendjoengi saoedara kami di Soerabaïa, ada pesta perkawinan sepoepoe, kata mama. Akoe sebenarnja tak maoe, akoe lebih senang djalan bersamamoe. Tapi akoe malah disoeroeh membawa Ellie djalan-djalan apabila tak maoe ikoet mereka. Terpaksa akoe pergi bersama mereka, Ranïa.
Maafkan akoe, Ranïa, moengkin akoe akan seminggoe di Soerabaïa. Soenggoeh rasanja akoe akan kesepian bila tak bertemoe kamoe selama itoe. Tapi tak mengapa, akoe berharap kamoe membalas soerat ini, Ranïa. Koetjantoemkan alamat saoedarakoe di Soerabaïa agar kamoe dapat mengirimkan soerat balasan.
Akoe menanti soerat darimoe.
Tertanda, Hoesni.Entah aku harus senang atau bingung karena aku kesulitan membaca karakter-karakter tempo dulu dalam tulisannya. Ini kali pertama pula aku menerima surat dari seseorang, bahkan aku tak pernah menerima surat tertulis begini di tahun 2020, semua sudah elektronik kecuali surat-surat resmi yang ditujukan pada instansi secara langsung. Namun sedikit banyak aku paham bahwa ia harus pergi bersama keluarganya ke Surabaya karena ada pesta saudaranya, dan ia akan pergi selama satu minggu.
Ada perasaan aneh dalam diriku ketika ia menulis bahwa ia merindukanku. Aku tak paham perasaan seperti apa ini; senang, sedih, hingga lucu terasa bercampur menjadi satu, membuatku bingung hendak memberikan respon yang tepat saat membaca kalimat itu. Ia juga memintaku membalas suratnya, namun aku tak begitu paham bagaimana cara membalas surat di zaman ini, kemana aku harus pergi mengantarnya dan apa yang harus kutulis. Apakah ia akan mengerti ejaan yang kutulis dalam surat balasan nantinya? Bagaimana kalau suratnya sampai begitu lama dan ia sudah kembali dari rumah saudaranya?
Ah, aku bingung. Kuletakkan surat itu di dalam laci dan melangkah keluar, mencari udara segar pagi ini. Aku menarik daun pintu, dan menemukan Sartono berdiri kaku menatapku. Ia menggaruk kepalanya tampak gugup. Seketika aku mengingat kejadian kemarin siang, lalu suasana menjadi canggung.
"Kau... sudah bangun?" tanya Sartono kikuk.
"Aku bahkan sudah mandi, mas."
"Ah, begitu... Baiklah. Apa kau sudah sarapan?"
"Sudah, mas."
"Um... Baiklah. Apa kau... Mau ikut denganku?
"Kemana?"
"Jalan-jalan ke perkebunan keluarga kami, tak jauh dari sini."
"Apa Sartika juga ikut?"
"Ah, sayangnya Sartika sedang belajar bersama gurunya."
KAMU SEDANG MEMBACA
Rania van Batavia [✔️]
Fiksi Sejarah# THE WATTYS WINNER 2021 IN HISTORICAL FICTION # Previous Title: "Namanya Hoesni" Aku Rania, seorang mahasiswi tahun akhir ilmu sejarah yang sangat menggemari kisah-kisah menakjubkan dari pergerakan nasional bangsa Indonesia pada masa kolonial. Semu...