Cue !
.
.
.
💜💜💜
Pagi hari selalu terasa sama, begitu pun siang hari, ingin rasanya aku tidur lebih lama. Meskipun aku sudah melakukannya lebih lama, pagi hari selalu menjadi hal menakutkan untukku kala membuka mata.
"Si Sunshine" julukan yang disematkan padaku oleh Jimin tak lagi menyukai keindahan hari yang cerah oleh paparan sinar menyilaukan itu. Si sunshine ini mulai membenci pagi hari apalagi tepat saat mata terbuka dan diri terbangun dari tidur yang lelap namun tak lelap.
Tidakkah kalian mengerti ketakutan anehku itu ? Aku hanya berharap, malam datang lebih awal dan pergi lebih lama. Aku takut saat matahari mulai menampakkan sinarnya dan orang-orang satu per satu mulai memperlihatkan tanduk-tanduknya.
Terlalu banyak yang ku takuti dan ku benci bahkan aku membenci diriku sendiri dengan perubahan yang begitu melelahkan. Aku ingin pergi. Pergi dari kehidupanku yang begini kalau bisa aku tak ingin merasakan deru nafas penuh ketakutan dan kebencian ini lagi.
.
.
Ku koreksi tentang bagaimana uri Noona memperlakukanku. Dia baik jika dan hanya jika ada sesuatu yang dia inginkan. Maksudnya begini, ini bukan masalah uang atau apa, dia sering memanfaatkanku untuk kepentingan pribadinya. Contohnya, dia sedang bertengkar dengan Uri Appa dan harus ada yang dia sampaikan semisal pesan atau hal yang harus dilakukan, aku lah yang menjadi tumbalnya. Untuk apa dia punya akal dan mulut kalau itu saja tidak bisa dia gunakan dengan baik, kan ?
Atau contoh lainnya seperti ini. Dia tahu aku tidak bisa melakukan hal tersebut karena sedang melakukan hal lain tapi dia tidak mau melakukannya, mulut manisnya akan mengatakan baik-baik namun niatnya tetap saja menyuruhku.
Such a bit***s !
Perlakuan kasarnya padaku bukan hanya secara fisik misalnya melempar barang ke arahku dengan kuat, tapi secara verbal. Dia sering melakukannya secara verbal dan ku rasa memang penghuni rumah ini tak pernah menyaring ucapan yang keluar dari otak pintar mereka. Bibir yang membentuk kata-kata kasar itu yang ingin sekali ku tampar. Jujur saja, sudah lama aku mendendam kepada dirinya namun ku tahan. Di kepalaku sudah terlalu banyak skenario sadis untuknya. Namun, nuraniku selalu melarangnya.
Aku bisa saja melakukan pembunuhan kepadanya, asal kalian tahu. Tetapi, terus terang aku menunggunya untuk berubah. Sayang, penantianku terlalu sia-sia karena dia semakin semena-mena dan aku sudah malas merealisasikan semua skenarioku. Tanganku tak ingin menyentuhnya barang secuil saja, melihat wajahnya saja aku sudah muak.
MAKANYA, niatku untuk pergi dari rumah sudah terlalu besar dan inilah saat yang tepat.
Lima hari yang lalu, orangtuaku pergi ke suatu tempat dan Uri Noona sibuk berbelanja kebutuhan perawatan kulitnya. Aku pun membuat rencana 'pergi' dari rumah dengan cara yang elegan. Rencanaku adalah pura-pura diterima pekerjaan dan ditempatkan di luar kota oleh salah satu anak perusahaannya.
Aku tidak bodoh dalam berbohong, sebelum melakukannya, aku sudah terlebih dahulu research mendalam mengenai tempat yang akan menjadi dustaku itu. Ternyata, mereka percaya.
Ah, entah percaya atau tak peduli, aku tak mau ambil pusing, yang penting aku bisa pergi dari rumah.
.
.
Mungkin karena sering dianggap produk gagal, sekarang aku menjadi merasa aku memang produk gagal di keluargaku. Gagal produksi yang tak bisa dilihat maksudku. Kalau bisa dilihat ya itu secara fisik. Aku tak tahu, bagaimana produk gagal ini akan melanjutkan hidupnya kalau si produk gagal ini saja sudah gagal dibuat gagal lagi. Berkali-kali lipat gagal dan rasanya benar-benar menyakitkan.
Kekuatan terbesarku bukan pada skill dan ilmu pengetahuan, ku akui itu. Kekuatan terbesarku adalah bagaimana aku menutupi semua penyakitku tanpa membuat orang lain kasihan padaku. Ku bilang pada orang-orang yang melihatku sakit adalah aku bisa mengatasi dan melewati ini semua. Namun nyatanya, tidak. Aku hidup menanggung semuanya sendiri, aku hidup memendamnya sendiri dan aku hidup semakin tak berguna.
.
.
.
Hampa ku rasakan saat membuka mataku disebuah flat murah di Kota ini. Kota Seosan di Provinsi Cheongnam adalah tempat pelarianku. Aku tak banyak tahu tentang daerah ini karena aku baru pertama kali menginjakan kakiku disini. Satu hal yang pasti, daerah ini memiliki destinasi wisata yang indah mulai dari peninggalan sejarah sampai pemandangan alam yang indah. Semoga saja bisa memulihkan jiwaku.
Ku paksakan diri untuk bangun pagi meskipun tubuhku serasa remuk redam setelah beberapa jam duduk di bus lalu mencari penginapan murah. Setidaknya, aku tidak kehujanan dan kepanasan. Ya, tidur dengan layak meski hanya beralaskan kasur tipis. Tak apa, demi kesehatan mentalku.
Semalam, aku sudah menyiapkan berkas-berkasku untuk mulai melamar pekerjaan di kota ini. Terserah, aku tak peduli di perusahaan mana, yang penting mereka menerimaku. Itu saja.
.
.
Sudah hampir sore hari setelah aku menyebar lamaranku, aku berakhir di sebuah minimarket. Membeli sekaleng minuman dan duduk di depan toko tersebut untuk meluruskan kakiku yang pegal. Hela nafas berat ku hembuskan, satu yang ku harapkan, dari sekian banyak lamaranku, setidaknya satu yang berminat dan memanggilku. Semoga saja.
Lalu lalang di depan minimarket membuatku termenung sejenak. Bukan apa-apa, mengapa rasanya kota ini lebih damai ketimbang Seoul dengan segala kepadatan dan caci maki yang sering ku dengar ? Atau hanya sekitarku saja yang begitu ? Ah ! Entahlah ! Aku juga baru pertama kali kesini, jadi aku tak tahu budaya daerah ini.
"Tempelkan dengan benar supaya mereka bisa melihatnya dengan jelas" kata seorang wanita pada seorang pria muda di toko binatu di depan minimarket yang membuatku memberi atensiku sepenuhnya pada mereka.
"Ne, sajangnim" jawab si pria sembari menempelkan sebuah kertas di depan pintu kaca.
"Aigoo~ semoga kita langsung mendapatkan penjaga kasir segera. Semuanya berantakan akibat dia mencuri waktu itu. Tsk !"
Mataku mengerjap. Otakku berpikir cepat dan tak perlu menunggu lama, aku beranjak dan berjalan cepat ke toko binatu itu dengan tergesa.
Ketika si pria muda akan menutup pintu, aku setengah memekik memanggil, "Jogiyo ! Jogiyo ! Jangan tutup pintunya dulu !" Kataku.
Si pria berhenti dan menoleh, "Ye ?" Ucapnya bingung.
"Ku dengar kalian membutuhkan penjaga kasir ?" Tanyaku.
Si pria mengangguk, raut bingungnya masih terpancar, "Ne" jawabnya.
Dengan aksen Seoul yang kental, aku melanjutkan, "Aku tertarik bekerja disini. Boleh aku bertemu dengan pemiliknya ?" Tanyaku dengan mata berbinar.
Setidaknya, sebelum dipanggil oleh perusahaan yang aku lamar, aku bisa mendapat penghasilan dari toko ini. Semoga saja.
Tbc
Love 💕💕💕
sugary07 🙆🙆🙆
KAMU SEDANG MEMBACA
LOVE ME, HATE ME [JHS]
FanfictionSisi kelamku selalu saja membuatku ingin mati. Aku ingin terbebas dari semua ini. Tolong aku.. -JUNG HOSEOK-