Cue !
..
.
💜💜💜
Ingin menjadi aku sehari saja ?
Jangan.
Kalian tidak akan sanggup.
Biar aku saja.
Aku tidak ingin orang lain mengalami hal yang aku alami.
Keluargaku tak seharmonis yang terlihat dari luarnya. Keluargaku hancur berantakan.
Kalian tahu kan kalau diriku memiliki banyak topeng ?
Nah, ini aku adaptasi dari mereka tapi bedanya, dibalik topeng "baik-baik saja" milik mereka, masih ada raut bahagia. Tetapi, aku ? Sebaliknya.
Wah..
Kurasa, beban yang menumpuk, overthinking dan penyakit mental yang ku derita ini tak serta-merta membuat mereka kehilangan kebahagiaannya. Apalagi, aku sudah bertekad tak akan melepas topeng "baik-baik saja" ku ini walau sebenarnya teramat sangat menyakitkan.
Jangan. Jangan pernah kalian meminta bertukar kehidupan denganku. Orang-orang hanya melihat sudut pandangku yang dulunya penuh tawa, santai, kharismatik dan luarbiasa karena bakatku.
Bahkan untuk mencobanya, ku sarankan jangan.
.
.
.
"A good day for a good thinks" ucapku dalam hati.
Siang hari yang cerah, langit biru yang jernih dan matahari yang menyilaukan. Hari yang sempurna, bukan ?
Hari yang sempurna untuk berbahagia. Tetapi, mengapa rasanya alam sedang mengejekku, sekarang ?Hari yang indah dengan cuaca yang baik tak berarti baik untuk kehidupanku.
Aku kembali melakukan "kesalahan".
Imbas kemarahan mereka, selalu berakhir padaku. Aku tak bisa lagi melawan seperti sebelumnya karena tekadku sudah terlalu bulat untuk menjadi anak yang baik. Maka dari itu, aku hanya bisa menelannya mentah-mentah.
Helaan nafas kasar nan berat ku hembuskan. Mengapa sulit sekali rasanya untuk bahagia ? Setidaknya, aku tidak ingin memakai topeng kebahagiaanku agar orang lain dapat melihatku bahagia. Bahagia yang sebenarnya. Sulit sekali kah itu ? Sampai-sampai, aku kembali berpikir, "Alangkah bahagianya jika hidupku berakhir saat ini juga".
Kelak, aku tidak akan merasakan penderitaan di dunia ini lagi. Biar Tuhan yang mengadiliku. Tetapi lagi-lagi, hal tersebut berbenturan dengan nurani yang selalu menentang mengakhiri hidup sebelum ajalku benar-benar memanggil.
Lucu, kan ?
Sebagian diriku tak menerima hidupku yang begini dan sebagian lagi menerimanya. Aku harus ikut yang mana ?
Mencari jati diri dengan cepat seperti halnya Namjoon atau Jimin tidak bisa ku lakukan. Aku tahu siapa aku sebenarnya, tetapi aku tidak tahu jalan apa yang harus ku tempuh. Terlalu abu-abu sampai-sampai, aku sendiri bagai rabun melihat jalan di hidupku.
Melangkah ? Tentu saja aku melangkah.
Namun, ketika aku melangkah dan memilih jalanku, sebuah tembok besar dan tinggi penuh duri tajam selalu aku jumpai. Terlalu berbahaya untukku dan hidupku. Mengapa harus seperti itu ? Kalaupun aku bisa melewatinya dengan resiko yang terpampang pun, aku harus apa ? Apa lagi yang harus aku lakukan setelahnya ?
Duduk di kursi menghadap jendela, menatap langit penuh teka-teki dengan pikiran yang bercabang, tak dapat aku elakkan.
Apakah akhir hidupku akan bahagia ? Setidaknya, aku bisa berbicara dengan nyaman bersama mereka walau hanya satu hari tanpa dibayang-bayangi ketakutan akan melakukan kesalahan, menyinggung atau bahkan ketidaksopanan yang sering kulakukan.
Hahhh....
Aku iri kepada Jimin. Keluarganya begitu akrab. Tak ada batasan yang terlalu jelas antara anak dan orang tua. Mereka menganggap satu sama lain sebagai teman. Teman berbagi cerita, teman bersenda gurau dan teman yang layaknya bersaudara.
Aku tahu, menjadi "teman" di keluargaku akan sulit karena tradisi turun-temurun. Orangtua adalah orang yang harus dihormati dan itu mutlak. Anak adalah orang yang harus tunduk, patuh dan taat akan perintah dan titah orangtua, itu pun mutlak.
Ya, aku tahu dan sangat mengetahui kalau orang tua memang harus dihormati, apapun itu. Tetapi, terkadang orangtua lupa, anak-anaknya pun perlu dihormati, setidaknya tentang pilihannya.
Sekarang, aku tidak lagi menuntut keinginanku terpenuhi, karena aku sudah mengibarkan bendera putihku kepada mereka. Aku sudah kalah dan tak dapat dipungkiri sebagian hatiku sudah mati rasa akan hal-hal yang ku terima. Hanya tangis malam hari dan memendamnya sendirian yang bisa aku lakukan.
.
Asyik melamun hingga aku lupa jam telah menunjukan pukul 2 siang. Aku bahkan melupakan demo cacing-cacing di dalam perutku sedaritadi. Tampaknya mereka pun sudah menyerah karena kelakuanku.
Tertawa kan saja aku, aku memang menghibur, kan ?
Tok... tok... tok...
Aku terperanjat, diriku tersadar. Pintu kamarku diketuk dan menginterupsi lamunanku.
Aku tidak akan bertanya siapa sebelum pelakunya berbicara. Kebiasaan burukku saat aku menyadari ketakutanku akan hadirnya orang lain datang.
"Hoseok-ah, makan"
Oh, itu Uri Noona.
Aku menoleh ke arah pintu. Aku sedikit bisa bernafas lega karenanya.
"Eoh. Sebentar" jawabku.
"Ppali ! Hari ini Noona yang mencuci piringnya"
"Aku akan keluar" jawabku.
Aku beranjak dari posisiku, sebelum benar-benar keluar, aku mendengar suara Uri Eomma sedikit meninggikan nada suaranya.
"Ya ! Jung Hoseok ! Kalau kau memang tidak mau makan, jangan menghabiskan uangku dengan membeli banyak bahan. Segera makan atau aku buang"
Aku mendengus. Tidak kah itu terlalu kasar ?
Tidak apa-apa.
Aku masih dapat bersyukur, diperbolehkan menumpang tidur dengan nyaman dan diberi makan 3 kali sehari. Hitung-hitung, upahku setelah mengejarkan pekerjaan rumah, bukan ?
Lucu, ya ?
Setidaknya, aku masih bisa hidup sebagai raga Jung Hoseok walau sebagian jiwaku sudah berceceran entah dimana.
Tetaplah bersyukur walaupun bernafas saja tetap terasa berat.
Tbc
Berbahagialah kalian semua. Walaupun mencari kebahagiaan adalah hal tersulit untuk dicari.
Love 💕💕💕
KAMU SEDANG MEMBACA
LOVE ME, HATE ME [JHS]
FanfictionSisi kelamku selalu saja membuatku ingin mati. Aku ingin terbebas dari semua ini. Tolong aku.. -JUNG HOSEOK-