13

146 34 3
                                    

Cue !

.

.

.

💜💜💜

Mereka membutuhkanku namun mereka juga yang menyingkirkanku,

Atau...

Aku yang membutuhkan mereka namun aku pula yang menyingirkan mereka.

Ku simpulkan, alur hidupku memang begini. Hidupku penuh prinsip membutuhkan dan tersingkir atau tersingkir dan dibutuhkan.

Aku tidak berharap banyak tentang alur hidupku, aku sudah pasrahkan semuanya bahkan untuk mengharapkan sesuatu lagi aku sudah sungkan.

Senyumku hambar sungguh hambar. Semua lamaran pekerjaanku tak kunjung mendapat panggilan, tiga hari mungkin terlalu cepat pikirku. Jadi, ku tunggu sampai dua minggu, namun tanda-tanda adanya panggilan tak kunjung ku dapati.

Aku mulai frustrasi, penyakit mentalku kembali. Aku kembali banyak menangis, ketakutan yang tak bisa dianggap remeh menghantuiku dan mentalku benar-benar diluluh lantahkan kembali oleh Uri Eomma dan uri appa. Pertahanan yang mulai ku bangun lagi, prinsip yang mulai ku tata, sekejap mata dia hancurkan begitu saja. Hinaan datang tak seperti dulu. Beberapa hari aku merasa tenang, beberapa hari badai datang, tapi dalam dua minggu itu, badai tak berhenti menerjangku. Tak hanya badai, topan, tsunami, gempa bumi, erupsi, semuanya ku alami di rumah ini. Aku tak mengerti, mengapa sulit sekali orang-orang di rumah ini menyaring dan memilah kata-kata yang pantas. Gelar kesarjanaanku selalu menjadi kambing hitamnya dan semuanya selalu dimulai dari kesalahan sepele yang bahkan ahli psikologi saja bisa geleng-geleng kepala saking tak pentingnya. Tetapi hebatnya, hal sepele itulah yang bisa merusak mentalku hingga tak berbentuk lagi.

Ditambah dengan orangtuaku yang selalu mengagung-agungkan keponakan-keponakan mereka yang sukses. Sebenarnya, aku ini anak mereka, bukan ?

Ya, aku memang belum bisa seperti mereka, tapi tolong hargai usahaku. Aku juga sedang berusaha untuk keluar dari zona hitam hidupku. Aku juga ingin sukses seperti mereka, tapi tolong jangan hina aku seperti sampah. Aku masih punya harga diri.

Sedikit banyaknya, arah kalimat demi kalimat yang mereka lontarkan kepadaku adalah mereka malu memiliki anak sepertiku yang pengangguran. Mereka malu mengakuiku sebagai anak yang tak berhasil mereka didik. Mereka malu dengan keluarga besar mereka setiap kali ada pertemuan keluarga kala menanyakan perihal aku.

Kalau malu, kenapa tidak usir saja aku dari rumah ? Atau coret aku dari daftar keluarga. Ku rasa, itu akan lebih baik bagiku dan bagi mereka.

Tak ku pungkiri, aku pun iri dengan sepupu-sepupuku. Mereka dengan mudahnya mendapat sesuatu yang mereka inginkan, tertawa bahagia bersama keluarganya dan bisa saling menyayangi tanpa adanya konflik berlebih seperti keluargaku. Aku juga ingin seperti itu. Kalian tahu rasanya ? Aku ingin seperti mereka tanpa adanya tekanan batin yang setiap hari kuterima. Akhir-akhir ini saja, aku tak lagi berani menatap wajah keluargaku, aku begitu kecil dan tak berguna. Aku ingin menghilangkan pikiran-pikiran buruk tersebut, tapi tidak bisa. Mereka selalu menumpuk beban pikiranku dengan tekanan batin yang terus menghujamku tanpa henti.

Geumanhae ! Jebal... geumanhae.

Aku tak mau dirundung oleh keluargaku sendiri karena aku tidak bisa melawan balik mereka. Aku tidak bisa melakukannya, aku tidak bisa.

.

.

Aku pun sedang sakit, chingudeul. Bukan karena penyakit mentalku. Ah ! Mungkin bisa juga akibat dari penyakit mentalku sampai imunitas di tubuhku menurun drastis. Hampir satu bulan, baru ku sadari, aku menderita batuk yang tak kunjung sembuh. Semua ku tahan karena tak ingin membuat keributan di rumah ini. Untuk batuk saja, aku harus menjauh dari keramaian dan melakukannya dengan hati-hati. Bodoh, ya ? Kalau kalian sakit pasti memberitahu orang terdekat, tapi aku tidak. Aku tidak bisa melakukannya, nanti aku dibilang "si pembawa penyakit" pula.

LOVE ME, HATE ME [JHS]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang