Part 7

52 12 12
                                    

“Eh, Jinaa. Hai!”

“Loh, Kak Dery?”

Perkataan Jeno terpotong oleh sapaan Hendery barusan. Padahal tinggal sedikit lagi dia bisa mengatakan apa yang ada di dalam pikirannya selama ini. Jeno mendengus malas. Rahangnya mengeras, tangannya mengepal. Kenapa orang ini datang di saat yang tidak tepat?!

“Ada Jeno, juga?” tanya Hendery yang baru menyadari keberadaan Jeno setelah dia duduk di kursi. “Gue ganggu, gak? ” tanyanya tidak enak hati.

“Iya.”

“Enggak.”

Jawaban kedua oknum membuat Hendery bingung. Sedangkan Jinaa hanya melotot mendengar jawaban dari Jeno. Terlalu jujur.

Hendery menatap Jeno dalam diam. Terdapat raut kesal di wajah Jeno. Dia yakin, pasti anak itu tengah menahan amarahnya. Sebenarnya, kedatangan Hendery bisa disebut sengaja. Setelah masuk ke gedung bioskop, dia melihat Jeno dan Jinaa tengah duduk dengan raut wajah ... tegang(?) maka, dengan jahilnya dia menggangu. Dan, ya, tepat sekali. Saat dia datang, Jeno baru akan berbicara.

Hendery juga ingin menghampiri Jinaa sebenarnya.

“Mukanya gak usah sepet gitu dong, Dek. Makin jelek.” Ledek Hendery pada Jeno.

“Bacot.”

Jinaa yang melihat interaksi keduanya dibuat bingung seketika. Pasalnya, mereka berdua terlihat akrab, walau sikap Jeno agak sedikit dingin. Makin bingunglah Jinaa setelah mendengar perkataan Hendery berikutnya.

“Pulang. Lo dicariin Mama.”

Mama? Maksudnya? Sumpah, Jinaa tidak mengerti dengan situasi sekarang. Jangan bilang mereka berdua bersaudara tapi, kenapa marga mereka berbeda? Selama ini juga mereka berdua seperti tidak melihatkan interaksi kalau mereka berdua bersaudara. Jinaa pusing.

“Gue sama Jeno adek-kakak, cuma beda Ayah. Makanya marga kami beda.” Jelas Hendery yang melihat guratan kebingungan Jinaa.

Jinaa hanya membentuk mulutnya menyerupai huruf O, sesekali menganggukan kepalanya.

Jeno mendengus, sampai kapan pun, dia tidak akan mengakui kalau Hendery adalah Kakaknya. Jeno berdiri agak kasar dari duduknya, berbalik lalu meninggalkan Jinaa dan Hendery tanpa mengucapkan sepatah kata pun.

Maafin Abang. Tapi, Abang janji. Bakalan buat kamu jadi Jeno yang dulu

Hendery memandang sendu punggung yang berjalan menjauhinya dengan pandangan sarat akan penyesalan.

“No. Mau kemana?” pertanyaan Jinaa membuat langakah Jeno terhenti.

Jeno menjawab tanpa berbalik, “cabut.”

“Terus, yang mau lo bilang?”

“Kapan-kapan aja,”

Jinaa sebenarnya sangat penasaran dengan apa yang akan dikatakan oleh Jeno. Tadi saja, Jinaa mati-matian menahan gugupnya. Berhadapan langsung dengan Jeno, tidak menjamin kesehatan jantungnya. Walau pun sebenarnya rasa benci masih ada, tapi tidak bisa dipungkiri bahwa Jinaa merindukan sosok Jeno yang selalu menemani hari-harinya dulu.

Bicara soal Jeno. Dia adalah anak tunggal dari keluarga Lee. Jeno sangat kesepian, dulu dia menginginkan saudara kandung agar hidupnya tidak sendirian. Tapi, rahim Ibunya diangkat setelah Jeno lahir. Sampai suatu hari, Ibunya datang membawa anak yang tua setahun di atas Jeno. Ibunya bilang itu adalah Kakaknya, Jeno senang bukan main. Tapi ...

"Maaf, Pak. Tapi, dia masih berstatus sebagai istri saya. Dan, kami sudah memiliki satu anak laki-laki"

Ayah Jeno menatap tidak percaya kepada wanita yang tengah menangis sambil menggendong Jeno yang berusia 5 tahun. Ayah Jeno marah, bisa-bisanya dia ditipu seperti itu. Dan apa tadi? Sudah memiliki satu anak? Sungguh kebenaran yang besar.

Asahi My Mine! (AMM) [ON GOING]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang