Part 12

38 7 18
                                    

.
.
.

Mentari muncul dari ufuk timur. Bersinar dengan malu-malu diawal pagi. Kicauan burung tak lupa tuk menghiasi bagai alarm alami.

Pukul enam pagi. Gadis dengan iris hijau itu sudah siap dengan seragam sekolah. Entah apa yang membuatnya begitu bersemangat hari ini. Usai melengkapi penampilan dengan menggendong tasnya, dia sudah siap berangkat.

Selepas pulang dari rumah sakit semalam, banyak hal baik yang datang menghampiri. Dia tidak tahu harus mendeskripsikan bahagianya dengan cara apa. Ranum pun tidak berhenti tersenyum.

Biarkan saja orang yang melihatnya beranggapan bahwa dia gila. Nyatanya, memang iya. Gila. Gila karena pesan dari seseorang yang ia idam-idamkan.

Sampai di sekolah pun dia tidak melunturkan senyum itu. Bahkan, sebelum masuk area sekolah dia masih sempat menyapa satpam yang sempat beradu cek cok dengannya.

Sesampainya di kelas. Gadis itu bersitatap dengan Felix—tidak lupa melemparkan senyum. Tidak heran lagi dengan kehadiran Felix pagi-pagi begini. Lelaki itu adalah salah satu siswa yang mendapat predikat sebagai siswa teladan.

"Tumben banget lo datang cepet, Han. Kesambet apa lo?" tanya Felix keheranan. Biasanya gadis itu akan datang tepat lima menit sebelum gerbang sekolah ditutup.

Hana—gadis itu hanya mengendikkan bahu acuh. Lebih memilih untuk menelungkupkan kepalanya. Sebelum dia teringat sesuatu. Gadis itu mengangkat kepalanya spontan, lalu berbalik menghadap lelaki berdarah Ausi itu yang duduk di bangku belakang.

Felix yang melihat itu berjengit kaget. Gadis itu kenapa? Apakah dia kerasukan? Bulu kuduk lelaki itu meremang.

"Lix ...," panggil Hana.

Felix menatap takut-takut pada gadis itu. Tatapannya begitu intens. Siapa yang tidak takut jika ditatap seperti itu dalam keadaan hening?

"A–apa?" tanya lelaki itu terbata.

Tak lama, suara tawa terdengar. Hana memegangi perutnya karena keram akibat tertawa. Ada apa dengan lelaki berdarah Ausi itu? Padahal dia hanya memanggil, tetapi responnya malah seperti orang yang tengah berhadapan dengan hantu.

"Lo kenapa, Lix?" tanya Hana setelah meredakan tawanya.

"Gue pikir lo kerasukan jurig, anjir!" Kesal lelaki itu.

"Nggak, lah. Btw, gue mau nanya sesuatu."

"Apaan?" tanya lelaki itu dengan nada malas—masih kesal karena merasa dikerjai.

Gadis itu langsung saja menanyakan sesuatu yang selalu mengganjal di benaknya. Mendapati respon Felix yang membentuk mulut seperti huruf O itu pun semakin membuat dia yakin jika lelaki tersebut mengtahui sesuatu.

"Waktu itu Jeno curhat sama gue, jadi, gitu."

"Jeno nangis ngga?"

"Semprul! Lo pikir dia cewek menye-menye apa? Malu dong sama ototnya."

"Kali aja dia udah ngga kuat terus nangis."

"Siapa yang nangis?"

Dua manusia yang tengah beradu mulut itu seketika terhenti begitu suara sang empu yang tengah dibicarakan terdengar.

"O–oh, itu. Felix kemarin nangis gara-gara bunuh nyamuk. Iya, 'kan?"

"Anu, iya, hehe."

Jeno tampak acuh dengan jawaban luar biasa dari gadis itu. Ia tahu jika Hana berbohong, tetapi dia juga tidak peduli. Toh, bukan urusannya, 'kan?

Setelah itu mereka nampak sibuk sendiri dengan urusan masing-masing. Seperti Hana yang sedang mengerjakan tugas minggu lalu yang akan dikumpulkan hari ini. Gadis itu tidak melupakan pekerjaan rumah tersebut, tetapi ia menganggap kalau sekolah seperti rumahnya sendiri.

Asahi My Mine! (AMM) [ON GOING]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang