24. Penindasan

39 23 14
                                    

Sebuah angkutan umum berhenti di depan halte. Kemudian turunlah dua remaja wanita berseragam putih abu-abu. Hanum nampaknya bahagia sekali naik kendaraan yang mengandalkan angin sepoi-sepoi bukannya AC seperti mobil seharga milyaran rupiah yang biasa menjemputnya.

Myesha ikut tersenyum melihat Hanum bahagia. Ia lalu menyerahkan uang ke sopir melalui jendela penumpang.

"Besok berangkat sekolahnya naik mobil itu lagi ya Sha," pinta Hanum sehingga mencipta kerutan alis di wajah Myesha.

"Lo beneran suka naik angkot?"
Hanum mengangguk antusias sembari berpegangan pada ujung tali tasnya.

"Wah... aneh." Myesha menggelengkan kepala saking herannya kemudian dia jalan duluan disusul oleh Hanum.

"Emang kenapa Sha?"

"Ya aneh aja, orang lain pada mau di antar jemput pakai mobil alphard dan lo malah menolak kemewahan itu," lanjut Myesha.

"Aku bukannya nolak tapi bosen. Kadang aku suka iri tahu sama anak-anak yang dianter jemput sama ayahnya terus sama mereka yang keluarganya punya banyak waktu di rumah."

Hanum menghentikan langkahnya sambil menengadah ke langit. "Pasti seru banget ya, Sha."

Menyadari itu, Myesha ikut berhenti lantas membalikkan tubuhnya karena kini Hanum berada jauh di belakangnya.

"Tau nggak Sha, aku pernah duduk di tangga paling atas, nggak ngelakuin apa-apa cuma merhatiin seisi rumah terus aku mikir ternyata rumah sebesar ini hanya aku penghuninya," ucap Hanum diakhiri tawa miris.

Kehidupan mewah dan keluarga yang lengkap sudah dimiliki semuanya oleh Hanum. Hidupnya sempurna di mata orang tanpa mereka sadari kekurangannya hanyalah satu yautu kebersamaan.

Rasanya tidak pantas Myesha pernah iri hati terhadap takdir Hanum. Jika dibandingkan dengan dirinya yang telah kehilangan separuh keluarga, tetapi masih punya ayah yang selalu menyempatkan waktu untuk Myesha.

Myesha menunduk bersalah. "Apa selama ini gue udah keterlaluan ya?"

Hanum menyeka air mata yang tiba-tiba menetes. "Ih debu masuk mata aku."

"Ya ilah nggak usah sok kuat nangis mah nangis aja," ledek Myesha setelah itu meninggalkan Hanum.

Hanum langsung mengejar Myesha untuk mengklarifikasi walaupun faktanya dia memang menangis. "Beneran aku nggak nangis kok tadi tuh aku kelilipan."

"Ya ya ya apa kata lo."

Detik selanjutnya tak ada lagi topik pembicaraan. Langkah kaki mereka yang kompak terus menjadi perhatian Hanum sampai gadis itu teringat akan satu hal. Sesuatu yang cukup mengganggu pikirannya akhir-akhir ini. Hanum melirik Myesha. Ya, ini tentang Kaivan dan Kairav.

"Bantu gue supaya Myesha jauh dari Kairav?" Perintah Kaivan.

"Kenapa begitu, Kairav kan saudara kamu sendiri. Kenapa Myesha nggak boleh tahu tentang dia?"

"Lo percaya gue kan? Gue lakuin ini pasti ada alasannya. Untuk sementara aja, gue janji enggak akan lama seenggaknya sampai gue berhasil ngungkapin perasaaan gue ke dia."

"Iya tapi kenapa Myesha harus menjauh dari Kairav?"

"Sekarang gue tanya, Myesha udah tahu Kairav atau belum?" tanya Kaivan terlihat serius.

Hanum dengan ragu menggelengkan kepala.

"Itu yang gue takutin, Num. Dia licik, egois. Bahkan dia pernah buat hubungan gue hancur. Liciknya dia dengan memanfaatkan wajah kita, lo paham kan maksud gue?"

Myesha (Revisi)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang