25. Hilang

42 22 21
                                    

Menurut ramalan, cuaca hari ini cerah dan berawan. Rencananya Kaivan akan pergi jogging mengelilingi kawasan sekitar rumah. Mengenakan kaos polos dan celana pendek, laki-laki itu berjalan sambil menenteng sepatu sneakers. Kemudian, duduk di ujung dipan guna mempermudahnya dalam mengikat tali sepatu.

Selesai dengan urusan sepatu. Kaivan membuka kaki lebar, menumpukkan kedua tangan di atasnya. Bola matanya melirik ke dinding pemisah antara ruangannya dan ruangan Kairav.

Kaivan benar-benar menyesali perbuatannya kemarin. Apa yang telah ia lakukan kepada Kairav terlalu berlebihan, tidak seharusnya dirinya bersikap egois hanya karena satu perempuan. Laki-laki itu bergegas keluar kamar, meminta maaf lalu berniat untuk mengajak adiknya jogging bersama sepertinya hal itu akan memperbaiki hubungan mereka.

"Maafin gue ya?"

"Gue khilaf, gue salah. Sorry, Kai."

"Kai, jogging yuk!"

"No no no. Apaan sih?"

"Oke gini, gue tau gue salah tapi-"

"Arrrggghhh!" Kaivan mengacak-acak rambutnya karena frustasi. Ia bingung, memikirkan awalan kalimat yang pas ketika meminta maaf kepada Kairav. Tak disangka ternyata mengucap kata maaf sesulit itu.

Kepalan tangan yang hendak mengetuk pintu diurungkan saat tangan satunya meraih knop pintu yang ternyata terbuka dengan mudah.

Tanpa ragu lagi, Kaivan membuka pintu lebar. Mengedarkan pandangan namun Kairav tak ditemukan. Indera pendengaran Kaivan langsung tertuju pada keran air yang menyala dan suara batuk Kairav berasal dari dalam kamar mandi.

"Kairav!"

"Kairav lo nggak papa?" Kaivan yang panik terus menggedor pintu. Tetapi, jangankan anak itu keluar, menjawab saja tidak. Hanya suara batuk yang terdengar semakin parah.

"Ckkkkk, Kairav buka!!"

Tak ada pilihan lain. Kaivan mengambil langkah mundur, bersiap dengan kuda-kuda hendak mendobrak paksa ukiran kayu itu. Dalam hitungan ketiga Kaivan membenturkan tubuhnya ke pintu, secara bersamaan pula dengan munculnya Kairav dari dalam sehingga Kaivan tak mampu lagi untuk mengerem aksinya yang berakhir dengan daratan sempurna di lantai.

Untunglah Kairav berhasil minggir. Kalau terlambat sedikit saja dirinya pasti akan ikut jatuh bersama Kaivan.

Kaivan mendelik tajam. "Anjing lo Kai."

"Lo ngapain sih?" Seakan tidak berdosa, Kairav memandang acuh kakaknya dengan kedua tangan di masukkan ke dalam saku celana.

Kaivan bangkit dari jatuhnya, menepak bokongnya yang ngilu akibat benturan keras tadi. "Lo-nggak papa?" tanyanya canggung.

"Hmmm." Kairav menanggapi dengan cuek dan malah meninggalkan Kaivan, berjalan ke kasur.

"Serius? Perlu gue panggil Ayah nggak?" tanya Kaivan lagi. Sungguh, ia benar-benar mengkhawatirkan Kairav. Inilah sisi lain enaknya jadi anak dokter kalau sakit tinggal panggil Ayah.

"Gak usah."

Ada dua tanda luka memar yang masih tercetak jelas di sudut bibir Kairav dan goresan berukuran sedang pada batang hidungnya. Kaivan menyusul duduk di samping Kairav. Keduanya sempat bergeming, kalut dalam pikiran masing-masing.

Laki-laki yang usianya 10 menit lebih tua melirik sekilas ke Kairav lantas menunduk dalam. "Soal kejadian kemarin, gue sadar yang gue lakuin itu udah kelewatan. Saat itu gue benar-benar nggak bisa berpikir jernih. Gue serius minta maaf, Kai."

Merasa ucapannya tak digubris sama sekali. Kaivan menyerongkan tubuhnya menghadap Kairav. Ia berpikir, mungkin Kairav masih membutuhkan alasan lain dibalik emosi Kaivan yang membeludak kemarin.

Myesha (Revisi)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang