E n a m

294 39 40
                                    

Tidak peduli sekeras apa makhluknya menyangkal, jika Tuhan sudah mengiyakan maka semua pasti terealisasikan.

____-_____

Di malam itu, dia sengaja melaksanakannya di rumah.

Sendiri dan tidak berjamaah.

Setelah sholat Isya, pria itu kemudian berdiri untuk melaksanakan sholat, sholat Istikharah. Meminta jawaban atas segala kebingungannya. Mencoba menenangkan hatinya juga pikirannya agar tidak gegabah.

Dengan hati tenang dan khusyuk akhirnya pria itu telah selesai. Mengucap salam lalu menyatukan tangannya, meminta pada Sang Kuasa juga pengendali hatinya. Sang Maha Agung, juga Maha Pemberi Rasa.

Pria itu berucap lirih di atas sajadahnya. "Ya Allah, yang maha pengampun lagi maha penyayang. Sesungguhnya Engkau-lah maha pemberi rasa itu. Engkau maha tau juga maha baik. Engkau yang bahkan lebih tahu dari hamba. Hamba harus bagaimana? Mengikhlaskannya begitu saja? Lalu kenapa kemarin seolah engaku memberi jawaban jika semuanya harus dilakukan? Hamba tidak tau pasti, beri hamba jawaban atas rasa ini, ya Allah...," kira-kira begitulah ia mengadu pada Sang Pencipta.

Sama seperti beberapa hari lalu. Hafiz sempat meminta petunjuk lewat sepertiga malamnya. Meminta jawaban atas segalanya. Segala rasanya. Lalu Tuhan beri jawaban atas doanya. Doa agar ia bisa menemukan sosok istri yang akan ia tuntun menuju Jannah-nya. Dan, itu pula yang membuat ia yakin untuk menikahi Zefa.

Sejujurnya ia sempat berdoa agar cepat datangkan jodohnya lewat sepertiga malam, dan beberapa hari setelahnya—tepat saat Zefa pingsan—itu ia anggap jawaban Tuhan. Jawaban atas pintanya pada Sang Maha Pencipta. Dia lantas melipat sajadah-nya, meletakkan peci putih-nya dan duduk di tepian ranjang dengan pikiran menerawang. Saat pikirannya menerka-nerka, panggilan dari Umi menyadarkannya.

"Ishaq, makan malam ayo," panggil Umi dari luar pintu. Ishaq, begitulah Umi memanggil putranya.

Hafiz bergegas membuka pintu dan tersenyum pada uminya. "Iya, Umi."

Mereka duduk diam tanpa suara, abinya selalu melarang mereka untuk bicara saat makan.

><

Pagi yang cerah telah menyapa, membuat senyum Zefa mengembang seketika. Apalagi kala teringat bahwa kerusuhan itu sudah tidak ada. Namun, perlahan senyum itu memudar kala melihat pria menyebalkan itu masuk ke kelasnya, Hafiz.

"Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh ...." sapanya dan dijawab serentak oleh semua santri putri.

"Hari ini hafalan, seperti biasa akan saya panggil satu persatu," tutur Hafiz membuka lembar absen.

Awalnya Zefa terkejut pasalnya dia belum hafal kosa kata Arab yang membingungkan. Namun dia menyadari absennya yang berada di urutan akhir membuatnya bernapas lega. Dia bergegas membuka buku hafalannya dan menghafalkannya diam-diam. Namun, Hafiz menyadari itu. Kerlingan jahil muncul di bibirnya.

Santri putri pertama telah maju dan lancar. Zefa masih tak acuh dan berusaha menghafalkan. Hafiz dapat melihat Zefa yang sesekali memejamkan mata juga merutuk kesal, kadang kala tanpa sadar itu membuatnya terkekeh kecil.

"Siti Mawardah."

Mendengar namanya dipanggil Mawar bergegas maju ke depan. Berjarak, bahkan Hafiz tidak menatap mata para siswinya dan hanya mendengar dengan mata menatap lurus ke depan. Saat nama Mawar dipanggil perasaaan Zefa mulai tidak enak, karena Hafiz mengacak urutannya. Jantungnya berdegup kencang, tubuhnya mulai bereaksi panas dingin. Dia tegang dan itu membuatnya tanpa sadar tidak fokus pada hafalannya.

A Reason [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang