Dua Puluh || A Crying

223 24 0
                                    

Tidak ada luka tanpa air mata. Karena segala sesuatu yang menyakitkan selalu datang lebih awal, untuk kemudian sadar indahnya buah kesabaran.
______________

Gadis yang hanya memakai hijab instan itu berlari dengan pikiran yang kalut. Entah akan ke mana dia sendiri pun tidak tahu. Gadis itu pun hanya membawa uang yang tidak sengaja ada di sakunya, uang kembalian sehabis beli barang di minimarket sore tadi.

Pada akhirnya Zefa memutuskan untuk pergi, lebih tepatnya pulang. Dengan air mata yang turun tanpa aba-aba itu, Zefa terus memikirkan apa yang baru saja ia ketahui. Pandangannya tertuju ke arah jalanan padat perkotaan. Zefa tidak peduli pada Hafiz yang mengejarnya atau tidak. Masa bodo pada pria itu.

Sekitar ±3 jam perjalanan, Zefa sudah menginjakkan kaki di pekarangan luas rumah orang tuanya. Setelahnya Zefa masuk paksa ke dalam kamar kakaknya. Merengek keras dengan dirinya yang sudah memeluk erat kakaknya. Untunglah pintu rumah belum dikunci, jadi Zefa bisa dengan mudah masuk tanpa perlu mengetuk dulu.

Jam sudah menunjukkan pukul 9 malam, tidak peduli pada Hafiz yang menghawatirkannya atau tidak.

"Loh, Zefa?!" Riki yang terkejut mencoba melihat wajah adiknya. Namun Zefa tetap keukeuh enggan melepas pelukannya dan hanya terus terisak.

"Z-zefa .... " Zefa yang tidak mampu berkata-kata hanya terus terisak. Riki-kakaknya-hanya diam. Membiarkan Zefa mengeluarkan segalanya hingga adiknya itu tenang. Setelah setengah jam berlalu, Zefa sudah melepas pelukan dengan jari yang mengusap bekas air matanya.

"Kamu kenapa?! Ke sini sama siapa?! Kenapa tiba-tiba nangis begini?! Ha?!" Berderet pertanyaan Riki lontarkan. Pria itu menangkup pipi adiknya dengan tatapan meminta penjelasan.

"K-kak ... Shiddiq b-bukan anaknya Kak Ezi ... Shiddiq ...," Zefa terlalu lemah untuk menjelaskan segalanya.

"K-kamu ... dari mana tau i-itu?" tanya Riki yang terkejut. Terkejut kenapa adiknya ini bisa tahu kebenaran yang sengaja ditutup rapat.

"Kakak juga tahu?! K-kenapa ngga cerita sama Zefa?! K-kenapa dirahasiain Kak?! Kenapa?!" Kini Zefa yang tadi sudah tenang pun mendadak histeris. Segala rasa ikut tercampur di dalamnya. Sedih, kecewa, sakit hati bahkan tidak terima. Dunia terlalu jahat padanya. Sebenarnya apa lagi yang tidak Zefa ketahui? Apa lagi yang mereka semua sembunyikan dari Zefa? Gadis itu memukul keras kakaknya sembari terus terisak.

Riki dengan cepat membawa adiknya ke dalam pelukan, mengusap pelan rambut yang kini masih tertutup hijab instan. "Stt ...."

Zefa mencoba berontak. Namun tenaga Riki jauh lebih kuat, membuat Zefa akhirnya hanya pasrah.

"Itu keinginan Alfa, dia sendiri yang minta kakak buat rahasiain dari kamu. Karena dia tahu, kamu bakal kaya gini, Ze." Tangan besar Riki gunakan untuk mengusap kepala adiknya, menenangkan sembari memberi penjelasan.

Zefa melepas diri, menjauhkan tubuhnya dari kakaknya. "Kenapa? Biar Zefa benci sama Kak Alfa?" tanyanya menatap berang kakaknya.

"Kamu tidur aja gih, Mami sama Papi juga udah tidur. Besok kakak jelasin semuanya." Riki mengusap lembut bahu Zefa.

"Ngga," tolak Zefa. Gadis itu melepas hijabnya, membiarkan rambutnya yang sudah sedikit panjang itu terlihat.

"Besok kakak ceritain semuanya," bujuk Riki halus. Namun Zefa masih tetap menggeleng kukuh.

"Ze."

"Kak!"

"Suami kamu tahu?" tanya Riki yang baru menyadari bahwa adiknya itu kabur dari rumah.

"Ngga."

"Kalo dia cariin kamu?"

"Biarin. Biar dia uring-uringan." Zefa melipat tangannya di dada, "ternyata, Kak Sha jauh lebih jahat," lirihnya yang kini menunduk dalam. Riki dengan cepat mengusap kepala Zefa.

"Tidur sana. Besok kakak cerita." Dan akhirnya Zefa menurut lalu bergegas ke kamarnya yang terletak tepat di sebelah kamar Riki.

><

_________

Hai, lama tak jumpa. Ngga sadar ternyata aku jarang up dan setelah dipikir-pikir makin ke sini makin absurd😢
Don't forget to vote and comment yaw><
Luvyuuuu

A Reason [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang