E m p a t b e l a s

266 32 1
                                    

Nyatanya, tidak ada yang baik-baik saja setelah kehilangan orang tersayang. Akan selalu ada kenangan indah yang terputar dengan sendirinya dan menyisakan luka setelahnya.
____________-__________

"Kak," sapa Zefa yang berdiri di ambang pintu. Riki terlihat mengangkat sudut bibirnya, tersenyum tipis mempersilakan adiknya masuk.

Zefa bergegas mendekat ke arah Riki yang tengah bersandar di kepala ranjang. "Kak, Zefa ...," Gadis itu terlihat ragu akan cerita.

Riki  tahu bergegas memeluk adiknya lama. "Maafin kakak, ya," lirih Riki yang terus mengusak rambut Zefa yang kini tergerai tanpa tertutup khimar.

"Sakit Kak, Zefa ngga bisa terima ...." keluhnya, gadis itu kini telah terisak pelan.

Riki kasihan pada adiknya. Dulu, awalnya dia pun tidak terima. Sempat melayangkan beberapa pukulan pada Ezi. Namun dia juga tidak dapat mengubah apapun dan memilih untuk membiarkannya saja. Riki percaya, suatu hari akan ada saat di mana semuanya tergantikan pada yang jauh lebih indah.

"Kakak ngga bisa lakuin apapun, Ze. Maafin kakak, ya," sesal Riki. Pria itu masih terus menenangkan adiknya dalam pelukan.

"Zefa ngga bisa liat Kak Alfa setiap hari kaya gitu, Kak," ringis Zefa, tangisannya kian terdengar. Riki bahkan merasakan kaosnya yang di remat kuat.

"Zefa ngga bisa, Kak. Ka Alfa ... perlakuannya ke istrinya selalu bikin Zefa inget sama waktu dulu, d-dia masih sama ... hiks ... Zefa--" Ucapannya tersendat, nafasnya menggebu, dadanya naik-turun menandakan dia yang sangat sakit hati pada Ezi.

Riki tahu alasan Zefa ke sini. "Kamu tenangin diri, ya. Ikhlasin Alfa, dia udah bahagia sama pilihannya," tukas Riki menenangkan Zefa. Riki sangat menyayangi adiknya. Dulu, dulu sekali, dia pun marah pada Ezi. Namun dia benar-benar tidak dapat melakukan apapun. Takdir adiknya bukan pada Ezi. Tuhan hanya mempertemukan mereka tanpa mau menyatukan.

"Jangan benci mereka ya, takdir Tuhan lagi ngga berpihak sama kamu," pungkas Riki melepas pelukan sembari menatap manik Zefa yang sembab. Tangan kekarnya terulur, mengusap pelan bekas air mata adiknya.

Tok tok.

Ketukan pintu terdengar bersamaan dengan sebias suara yang mereka kenal.

"Dicari tuh, ayo," ajak Riki menuntun Zefa.

"Apa?" tanya Zefa ketus menatap Hafiz yang berdiri di ambang pintu. Dia kesal, Zefa sangat kesal, pasalnya Hafiz selalu saja mengganggunya saat sedang bersama Riki.

"Kamu kenapa marah sama saya?" Pria itu malayangkan tatapan heran sekaligus protes.

"Ya kak Sha selalu aja ganggu Zefa," sungut Zefa.

"Kamu dipanggil sama papi kamu," ungkap Hafiz yang kemudian meninggalkan Zefa dengan Riki.

"Liat tuh, Kak. Nyebelin banget sih," decak Zefa menunjuk Hafiz dengan telunjuknya, sesekali masih sesegukan sehabis menangis tadi.

Riki terkekeh, "sabar, gitu-gitu nanti juga sayang," pungkas Riki mengajak Zefa ke bawah.

----_----_----

Dari atas sini, seorang pria dapat dengan jelas menatap ke arah perumahan padat yang telah ia tempati selama kurang lebih dua tahun belakangan. Pria dengan rambut sedikit gondrong itu nampak menghela. Pikirannya banyak berbicara tentang segala hal.

"Aku ngga pernah tau apa yang lagi Tuhan rencanakan, aku ngga berharap lebih Ra, cuma mau kamu bahagia dengan pilihan kamu, begitu pula aku," pria itu menjeda ucapannya. Menatap langit cerah seolah ikut berbahagia. "Satu hal, aku pun ngga nyesel telah memilih jalan ini. Yang aku sesali adalah kenapa harus merelakan kamu untuk memilih pilihanku, Ra," lirihnya pilu.

A Reason [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang