(POV Dimas)
"Naiklah, Ning. Duduk di atas. Kamu bukan pembantu lagi di sini. Kamu menantu di rumah ini," titah ibu pada Ayuningtyas, perempuan yang baru dua minggu lalu resmi menjadi istriku. Atas paksaan ibu, tentunya.
Gadis berparas manis namun bersahaja itu mendongak, menatap ragu pada ibu yang tak ubahnya pemimpin di keluarga ini.
Kuperhatikan ibu menunjuk ke arah kursi kosong dengan gerakan matanya. Kursi kosong yang berada tepat di sebelahku.
Membuat diri ini mendengkus pelan, kemudian terdiam ketika sorot tajam mata ibu menghujam ke arahku.
Perlahan Ning bangkit. Tangan halus milik perempuan itu tampak gemetar saat menarik kursi, kemudian menyelipkan tubuh mungilnya di antara meja dan kursi.
"Jangan kaku begitu, Ning. Kamu sudah menjadi bagian dari keluarga kami. Anak-anakku memperlakukanmu dengan baik kan, Ning?" Pertanyaan ibu yang ditujukan pada Ning hampir saja membuatku tersedak oleh liur sendiri.
Ibu tentu sedang menyindirku saat ini.
Aku diam pura-pura cuek, padahal takut setengah mati jika sampai Ning mengadu.
"I-iya, Bu. Mas Dimas dan Mas Panji baik sama saya," tutur Ning.
Aku menoleh ke arah Panji, adik lelaki satu-satunya, sekaligus musuh bebuyutan di rumah ini. Usia kami hanya terpaut dua tahun saja. Tapi Panji memiliki fisik yang lebih besar dariku. Itu semua didapatnya karena rutin pergi ke gym untuk melakukan body building.
Panji tersenyum ke arah Ning. Begitu pun Ning yang membalas senyum pada Panji. Aku mendecih dalam hati. Tidak kah ibu harusnya bisa melihat, siapa sebenarnya yang lebih pantas dia sandingkan dengan pembantu ini?
Jelas Panji lebih cocok.
Semenjak kecil dia memang akrab dengan seluruh pekerja yang bekerja di rumah kami. Termasuk hampir seluruh karyawan perkebunan teh milik keluarga kami. Juga pabrik tekstil, warisan Mbah Kung.
Sedang aku?
Aku selalu menjaga jarak, bisa dikatakan pada hampir semua orang. Memiliki kepribadian tertutup membuatku tak memiliki banyak teman.
Sebagian besar waktuku, kuhabiskan di ibukota. Berkuliah di sana, membuat jendela duniaku sedikit terbuka. Hingga kemudian aku pun mulai larut dalam gemerlapnya dunia malam bersama beberapa teman kampus yang memperkenalkanku dengan hingar bingar tersebut.
Praktis semenjak itu, nilai-nilai akademisku di kampus pun anjlok drastis. Ibu yang mempunyai naluri tajam, terlebih mengenai kami anak-anaknya_langsung bisa mencium gelagat tak beres pada diriku.
Dengan menyuruh beberapa orang untuk mengawasi, aku pun akhirnya tertangkap basah oleh mereka ketika sedang berpesta dengan 'barang haram' tersebut bersama teman-teman.
Ibu marah besar?
Sudah pasti.
Secepatnya beliau pun mengurus kepindahanku dengan pihak kampus. Dan di antara banyak hal yang memberatkanku untuk pindah kembali ke kampung halaman, adalah Kia, gadis yang telah beberapa bulan menjadi kekasih hati.
Seakan belum puas menyiksa, ibu tiba-tiba menjodohkan aku dengan Ning begitu aku tamat kuliah.
Ning adalah anak salah satu asisten rumah tangga yang sudah puluhan tahun lamanya mengabdi sebagai pelayan di keluarga kami. Bi Fatimah namanya.
Aku protes? Tentu saja.
Tapi seperti biasa, ibu takkan pernah mau mendengar suara protes anak-anaknya. Apalagi anak yang bermasalah sepertiku.
KAMU SEDANG MEMBACA
MEREBUT HATI SUAMIKU [TAMAT]
RomanceSebuah pernikahan beda kasta yang penuh lika-liku. Sanggupkah Ning meluluhkan hati suaminya, atau ia justru memilih melabuhkan hati pada yang berkenan menerima?